Mohon tunggu...
Putri Oktadewi
Putri Oktadewi Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

semua sudah tertakar dan tidak akan tertukar

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sikap Adaptif Sebagai Kunci Pelaksanaan Upacara Yadnya pada Era New Normal

24 Februari 2021   12:08 Diperbarui: 24 Februari 2021   12:10 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : Ni Made Putri Oktadewi

Pulau Bali merupakan pulau indah yang pesonanya tidak diragukan lagi. Alam, budaya, adat istiadat bahkan tradisi keagamaan menjadi pesona khas yang menjadikan Bali sebagai pulau yang kaya. Pesona yang dimiliki oleh Bali tak luput dari upaya masyarakat dalam menjaganya. Masyarakat Bali sejak dahulu memang sudah terkenal sangat peduli terhadap tradisi dan budaya yang dimilikinya. 

Berbicara mengenai tradisi dan upacara keagamaan yang ada di Bali, tentu menjadi pembahasan yang luas. Sebab ada begitu banyak tradisi serta upacara keagamaan yang masih rutin dilaksanakan hingga saat ini. Salah satunya ialah upacara yadnya. Upacara yadnya ini adalah bagian dari upacara keagamaan di Bali. Upacara yadnya bisa dikategorikan berdasarkan wuku, sasih dan juga penanggalan dewasa ayu. Ketiga jenis perhitungan penanggalan inilah yang juga membuat jenis upacara khususnya keagamaan itu menjadi sangat beragam serta siklus pelaksanaannya juga teratur dan rutin.

Umumnya, upacara maupun tradisi keagamaan yang berdasarkan wuku dilaksanakan setiap enam bulan sekali atau dua kali dalam setahun. Wuku dapat dikatakan sebagai minggu secara umum. Di Bali dikenal ada 30 wuku dalam setahun. Adapun contoh upacara keagamaan berdasarkan wuku yaitu: galungan,kuningan,tumpek,buda kliwon, otonan serta odalan ring merajan jika memang perhitungannya berdasarkan wuku. 

Selanjutnya untuk penanggalan yang berdasarkan sasih, dihitung berdasarkan bulan. Nama bulan di Bali dikatakan sebagai sasih yang juga terdapat sebanyak 12 bulan. Dari hal ini, maka upacara keagamaan yang dihitung berdasarkan sasih diperingati sekali dalam setahun. Contohnya yaitu: purnama dan tilem. 

Serta yang terakhir yakni perhitungan berdasarkan dewasa ayu. Perhitungan ini biasanya ditujukan pada upacara yadnya. Dalam menentukan dewasa ayu (hari baik) biasanya akan bertanya pada pemangku dan sulinggih yang ahli dalam hal itu. Contoh upacara yang menggunakan perhitungan dewasa ayu yaitu: manusa yadnya seperti menikah, ngaben dan potong gigi serta pada upacara bhuta yadnya seperti mecaru. Dari adanya beberapa jenis penanggalan dalam upacara agama di Bali, membuat masyarakat Bali sangat rutin dan juga aktif dalam melaksanakan upacara agama. Terdapat antusias yang tinggi dari masyarakat Bali dalam setiap pelaksanakan upacara keagamaan di daerahnya masing-masing.

Dari antusias masyarakat Bali yang memang sangat tinggi dalam melaksanakan upacara keagamaan, tentu segala cara akan diupayakan demi terlaksanakannya upacara tersebut dengan baik. Namun, diawal tahun 2020 terdapat gangguan tak terlihat yang datang begitu saja. Gangguan ini meresahkan bahkan membatalkan segala acara, kegiatan serta rencana yang sudah disusun dengan rapi. Dengan munculnya virus Covid-19 diawal tahun 2020 menuntut seluruh masyarakat untuk bersikap adaptif sesuai dengan keadaan. 

Penyesuaian keadaan di tengah pandemi Covid-19, ini tentu memerlukan waktu yang tidak sebentar. Banyak perubahan yang harus dilakukan dan juga di uji coba sebab tidak ada yang tahu bagaimana kedepannya. Kebijakan-kebijakan baru banyak dibuat untuk menunjang jalannya kegiatan di era pandemi ini. Beberapa diantaranya : kebijakan sosial distancing, bekerja dari rumah, pembelajaran daring, wajib pakai masker, pembatasan sosial berskala besar dan masih banyak lagi kebijakan yang harus menaati protokol kesehatan serta mengikuti penyesuaian keadaan sekarang ini. Tentu hal ini menimbulkan kebiasaan baru dikalangan masyarakat karena dengan adanya penyesuaian ini sudah pasti banyak hal yang akan berubah kedepannya.

Dengan adanya pandemi Covid-19 ini, mengajarkan dan melatih kita banyak hal. Salah satunya ialah dengan kita taat tentu akan menyelamatkan orang yang kita sayangi. Di era ini, kesehatan menjadi aset yang sangat penting untuk dijaga. Segala hal harus dikesampingkan demi kesehatan saat ini. Salah satu hal yang harus dikesampingkan adalah ego. Manusia memiliki ego yang sangat tinggi dan sulit untuk dikendalikan. Hal ini juga turut menjadi tantangan pada masa ini dalam menghadapi Covid-19. Manusia harus belajar untuk mengendalikan ego dengan baik untuk saat ini. 

Seperti misalnya mengikuti kebijakan pemerintah untuk memakai masker, menjaga jarak serta tidak berkumpul. Namun masih banyak masyarakat di luar sana yang tidak peduli dengan hal ini. Mereka tetap berkumpul tanpa menjaga jarak dan tanpa memakai masker. Disinilah ego masyarakat masih sangat tinggi tanpa memikirkan bagaimana tenaga kesehatan bersusah payah menjadi garda terdepan bahkan sampai gugur saat bertugas. Seharusnya masyarakat lebih bisa bersikap bijaksana untuk saat ini. Dengan mengukur skala prioritas, dimana kegiatan yang lebih penting dan memang harus dikerjakan itu yang diutamakan. Sedangkan untuk kegiatan yang tidak terlalu penting bisa ditunda terlebih dahulu. Jika semua masyarakat mau dan bersedia berpikir seperti itu, niscaya pandemi Covid-19 ini bukanlah halangan.

Beranjak pada masalah awal yakni terkait antusias masyarakat Bali dalam melaksanakan upacara dan tradisi keagamaannya, sudah tentu di tengah wabah Covid-19 ini juga terganggu. Masyarakat Bali yang biasanya rutin melaksankan rangkaian upacara keagamaan sekarang harus dibatasi pesertanya bahkan ada yang sampai menunda pelaksanaannya. Tentu hal ini juga menjadi kesedihan bagi masyarakat Bali, karena biasanya pelaksanaan upacara keagamaan di Bali sangat semarak dan juga meriah. Namun kembali lagi, yang terpenting sekarang ialah kesehatan dan daya tahan tubuh agar tidak tertular virus Covid-19.Perilaku adaptif serta kesadaran yang tinggi perlu dikembangkan oleh masyarakat Bali. 

Memang upacara keagamaan itu penting serta menjadi sarana bakti dan bersyukur kita kepada tuhan yang maha esa. Namun ketika keadaan tidak mendukung, kesadaran serta kepedulian terhadap virus Covid-19 ini tak kalah penting. Bali sebagai daerah yang mengandalkan sektor pariwisata seharusnya lebih waspada dan tidak boleh meremehkan virus ini. Masyarakat Bali mau tidak mau harus mengalah dan tetap melaksanakan upacara keagamaan dengan protokol kesehatan yang ketat. Meskipun pelaksanaan upacara keagamaan terasa sangat berbeda dengan protokol kesehatan, untuk saat ini hanya itu yang bisa kita lakukan untuk menangkal diri dari virus Covid-19.

Memasuki era new normal setelah hampir enam bulan terperangkap dalam gangguan Covid-19, tak serta merta membuat kita lupa akan virus covid. Di era new normal, masyarakat sudah mulai beraktivitas kembali namun tetap menjalankan 3M yaitu: memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak. Hal ini harus tetap dibiasakan mengingat virus Covid-19 belum sepenuhnya hilang. Jadi masyarakat dituntut untuk tetap melaksanakan 3M dimanapun dan kapanpun. Termasuk juga dalam pelaksanaan upacara keagamaan di Bali seperti upacara yadnya. Upacara yadnya di Bali bentuknya sangat beragam yang sering dikenal dengan Panca Yadnya. Yadnya sendiri memiliki arti korban suci yang tulus ikhlas tanpa pamrih. 

Dimana makna dari upacara yadnya itu salah satunya ialah sebagai sarana untuk mengungkapkan rasa terima kasih baik itu kepada Sang Hyang Widhi, leluhur, rsi serta pada bhuta yang turut menyeimbangkan alam semesta ini. Dalam pelaksanaan upacara yadnya di Bali tentu memerlukan banyak orang dalam pelaksanaan rangkaian disetiap upacaranya. Namun, memasuki era new normal seperti sekarang ini, tentu pelaksanaan upacara yadnya tetap harus mematuhi protokol kesehatan mengingat bahwa bahaya Covid-19 masih ada. Banyak dikeluarkannya peraturan-peraturan di setiap desa tentang pelaksanaan upacara yadnya di tengah era new normal ini. Seperti ; tetap memakai masker ketika pelaksanaan rangkaian upacara, pembatasan jumlah orang yang terlibat serta pembatasan waktu pelaksanaan upacara yadnya. Aturan ini tentu tidak sembarangan dibuat, mengingat dalam keadaan new normal ini banyak masyarakat yang mulai meremehkan Covid-19.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun