Mohon tunggu...
Ni Luh Ratna
Ni Luh Ratna Mohon Tunggu... Akuntan - Akuntan - Mahasiswi Magister Akuntansi Universitas Esa Unggul

Saya merupakan seorang akuntan yang bekerja sebagai acounting & tax officer di salah satu rumah sakit swasta di daerah Tangerang, Indonesia. Setelah menamatkan studi Sarjana Akuntansi di Universitas Esa Unggul pada tahun 2021, kini saya melanjutkan pendidikan ke jenjang Magister Akuntansi di kampus yang sama untuk mengembangkan karir dan potensi diri.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Risiko di Balik Sahnya Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan (UU KIA)

6 Juli 2024   15:20 Diperbarui: 6 Juli 2024   15:22 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penulis: Ni Luh Ratna Puspa Dewi (Akuntan, Mahasiswa Magister Akuntansi Universitas Esa Unggul/dokpri)

OPINI. Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) pertama kali diusulkan pada Sidang Paripurna DPR tanggal 30 Juni 2022 dan telah disahkan tanggal 4 Juni 2024 pada Rapat Paripurna DPR ke-19 Masa Sidang V 2023/2024. Pada 3 Juli 2024, Presiden Joko Widodo pun resmi menandatangani Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan ini.

Ibu I Gusti Ayu Bintang Darmawati selaku Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), mengungkapkan bahwa diharapkan UU KIA menjadi perwujudan cita-cita dan komitmen DPR dan pemerintah mengenai kesejahteraan ibu pekerja dan anak secara komprehensif sejak seribu hari pertama kehidupan.

Aturan yang disorot pada UU KIA ini adalah penambahan hak cuti bagi ibu pekerja yang semula selama 3 (tiga) bulan, kini ibu berhak atas cuti tambahan paling lama 3 (tiga) bulan berikutnya jika terdapat kondisi khusus yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter. Kondisi khusus yang dimaksud apabila ibu mengalami masalah kesehatan, komplikasi pasca persalinan, atau keguguran, serta jika anak yang dilahirkan mengalami masalah kesehatan dan/atau komplikasi. Cuti melahirkan tersebut wajib diberikan oleh pemberi kerja, dengan skema penggajian upah penuh pada bulan pertama hingga keempat, dan 75% dari upah di bulan kelima dan keenam. Seorang ibu yang sedang cuti melahirkan juga tidak dapat diberhentikan dari pekerjaannya.

Kemudian, suami yang mendampingi istri melahirkan juga berhak atas cuti selama 2 (dua) hari, dan dapat diberikan paling lama 3 (tiga) hari berikutnya atau sesuai dengan kesepakatan. Jika istri mengalami keguguran, suami juga berhak atas cuti selama 2 (dua) hari. Selain hak atas cuti, UU KIA menyatakan suami berkewajiban mendukung istri memberikan Air Susu Ibu (ASI) eksklusif pada anak selama 6 bulan pertama.

Meskipun pengesahan UU KIA ini dianggap berpihak pada perempuan khususnya ibu pekerja, namun terdapat pula beberapa risiko di balik sahnya UU KIA antara lain sebagai berikut:

1. Marjinalisasi Pekerja Perempuan

Marjinalisasi pekerja perempuan merupakan suatu usaha dalam membatasi atau meminggirkan posisi pekerja perempuan. Menurut akademisi sekaligus Ketua Umum Solidaritas Pemersatu Bangsa Indonesia (SPBI), Dr. Iswadi, M.Pd, pengesahan UU KIA ini berpotensi memicu marjinalisasi pekerja perempuan karena perusahaan menjadi cenderung enggan merekrut tenaga kerja perempuan. Hal ini dikarenakan tambahan cuti melahirkan yang cukup lama sehingga mengurangi produktivitas pekerja perempuan dan di sisi lain dapat membebani perusahaan untuk mencari tenaga pengganti serta menggaji pekerja yang cuti dan tenaga penggantu tersebut. Akibatnya, perusahaan dikhawatirkan lebih memilih mempekerjakan karyawan laki-laki dibandingkan perempuan sehingga mengurangi lowongan kerja bagi perempuan. Dikhawatirkan pula perempuan tidak diberi kesempatan untuk menduduki posisi-posisi strategis dalam sebuah perusahaan. Risiko marjinalisasi pada pekerja perempuan akan menjadi tantangan dari upaya kesetaraan gender yang masih terus diperjuangkan di Indonesia hingga saat ini.

2. Diskriminasi antara Perempuan Pekerja Formal dan Pekerja Informal

Pada UU KIA disebutkan bahwa hak cuti melahirkan ini berlaku bagi pekerja formal baik berstatus karyawan tetap maupun kontrak. Tiasri Wiandani selaku komisioner sekaligus Ketua Tim Perempuan Pekerja Komnas Perempuan menyatakan kekhawatirannya terhadap kesenjangan pemenuhan hak cuti melahirkan pada perempuan pekerja formal dan informal terkait UU KIA yang baru saja disahkan. Pasalnya, hak-hak pada UU KIA dianggap hanya dapat dinikmati oleh pekerja perempuan di sektor formal. Padahal, mayoritas perempuan bekerja di sektor informal. Para pekerja perempuan di sektor informal seolah berada dalam posisi dilema untuk mengambil hak cuti melahirkan lantaran takut akan diberhentikan dan kehilangan pekerjaannya.

3. Pelanggaran atas Hak Cuti Melahirkan bagi Ibu dan Cuti Pendamping bagi Ayah

Lemahnya pengawasan ketenagakerjaan berpotensi memicu pelanggaran atas hak cuti melahirkan bagi ibu dan cuti pendamping bagi ayah. Ketua Umum Federasi Serikat Buruh Perempuan Indonesia (FSBPI), Jumisih, mengungkapkan fakta yang terjadi di lapangan di mana para pekerja kontrak diberhentikan oleh perusahaan demi menghindari kewajiban membayar upah cuti melahirkan selama tiga bulan. Pada kasus lain, pekerja yang berstatus kontrak diminta mengundurkan diri saat mengajukan cuti melahirkan. Ada pula perusahaan yang memberikan hak cuti tetapi tidak selama tiga bulan penuh, bahkan ada yang tidak menggaji pekerjanya saat cuti. Seharusnya, perusahaan-perusahaan tersebut dikenakan sanksi atas pelanggaran hak cuti melahirkan. Namun, sejauh ini pelanggaran masih terus terjadi akibat pengawasan dinas tenaga kerja yang lemah terhadap perusahaan.

4. Perusahaan UMKM Berpotensi Kesulitan Memenuhi Aturan Tersebut

Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Bob Azam, meragukan seluruh perusahaan terutama UMKM sanggup memenuhi pembaruan hak cuti melahirkan yang tertuang pada UU KIA. Terlebih pada UMKM padat karya maupun sektor informal, seperti pedagang, rumah makan, dan usaha-usaha kecil lainnya, kebijakan ini dirasa memberatkan keuangan usaha yang belum mapan. Dengan disahkannya UU KIA oleh pemerintah, dikhawatirkan membuat pemilik usaha enggan mempekerjakan perempuan dan lebih memilih pekerja laki-laki untuk menghindari kewajiban pemberian cuti melahirkan.

Dari beberapa risiko yang mungkin terjadi, berikut alternatif solusi yang mungkin dapat diimplementasikan untuk menanggulangi risiko tersebut.

1. Membuat perjanjian atas kesepakatan bersama antara pekerja dan perusahaan mengenai cuti hamil dan melahirkan yang disesuaikan dengan kemampuan masing-masing perusahaan. Sebab, tidak semua perusahaan mampu memberikan tambahan cuti hingga enam bulan dengan skema penggajian yang telah ditetapkan. Dengan adanya kesepakatan ini, diharapkan pekerja juga telah mengetahui kondisi perusahaan dan menyanggupi untuk tetap bekerja di sana.

2. Menyusun aturan mengenai tambahan cuti bagi ayah agar mampu memberikan dukungan maksimal kepada ibu dalam mengurus bayi baru lahir. Hal ini juga dapat mengurangi kesenjangan hak cuti antara pekerja laki-laki dan perempuan, sehingga meminimalisir kecenderungan perusahaan untuk hanya memilih pekerja laki-laki. Hak cuti untuk ayah idealnya dua minggu sampai 40 hari atau setelah masa nifas ibu berakhir, sehingga ibu memperoleh kesempatan untuk memulihkan tubuhnya pasca melahirkan.

3. Menyusun aturan mengenai kewajiban perusahaan dalam merekrut pekerja laki-laki dan perempuan dengan persentase tertentu. Perusahaan tidak diperkenankan hanya memilih pekerja laki-laki dan menghindari pekerja perempuan untuk menghindari pemberian cuti melahirkan. Dengan demikian, marjinalisasi pekerja perempuan akibat disahkannya UU KIA ini dapat dicegah.

4. Pengawasan yang sistematis dan menyeluruh oleh pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan dan Dinas Tenaga Kerja setempat. Pemerintah diharapkan dapat membuat aturan terkait pengawasan implementasi UU KIA di setiap perusahaan serta sanksi atas pelanggaran hak-hak pekerja terkait kebijakan UU KIA. Sosialisasi kepada perusahaan dan pekerja mengenai UU KIA juga harus segera dijalankan untuk mencegah pelanggaran hak pekerja akibat ketidaktahuan maupun kesengajaan.

5. Pemerintah diharapkan dapat memberikan bantuan secara fiskal, seperti pemberian tunjangan ibu hamil dan melahirkan melalui BPJS Ketenagakerjaan orang tua untuk mendukung kebutuhan finansial keluarga pra dan pasca persalinan. Pengeluaran keluarga pasti meningkat, seperti pembayaran biaya persalinan, biaya pakaian, popok dan peralatan bayi, serta obat-obatan dan vitamin ibu dan bayi. Tunjangan ini juga dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan gizi seimbang ibu hamil dan menyusui agar mencegah stunting pada bayi.

6. Pemerintah sebaiknya juga memberikan bantuan kepada UMKM yang mempekerjakan karyawan perempuan dalam menjalankan kewajibannya memberikan cuti hamil dan melahirkan. Bantuan ini dapat berupa insentif bagi perusahaan yang dapat dialokasikan untuk membantu penggajian pekerja selama masa cuti maupun menggaji pekerja pengganti. Sehingga, UMKM memperoleh keringanan dalam upayanya mematuhi UU KIA.

Menurut pandangan penulis, sebenarnya niat pemerintah yang peduli akan kesehatan dan kesejahteraan pekerja perempuan yang sedang hamil dan melahirkan sangatlah baik. Namun, pada aturan yang tertulis, seolah-olah pemerintah berpihak sepenuhnya kepada ibu dan mengesampingkan kepentingan perusahaan sebagai pemberi kerja. Sementara, UU KIA ini dirasa memberatkan perusahaan karena harus lebih lama memberi hak cuti melahirkan dengan skema yang telah ditentukan. Padahal, tidak semua perusahaan dari segi finansial mampu menjalankan kebijakan ini. Untuk itu, perlu dilakukan pengkajian ulang atas UU KIA dengan melibatkan suara pekerja dan pemberi kerja agar dapat diperoleh kebijakan yang sama-sama menguntungkan bagi seluruh pihak. Di sisi lain, peran pemerintah dalam mendukung kebijakan ini juga sangat diharapkan, seperti pemberian tunjangan kepada ibu hamil dan melahirkan serta insentif bagi perusahaan yang memberikan cuti melahirkan. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun