Lemahnya pengawasan ketenagakerjaan berpotensi memicu pelanggaran atas hak cuti melahirkan bagi ibu dan cuti pendamping bagi ayah. Ketua Umum Federasi Serikat Buruh Perempuan Indonesia (FSBPI), Jumisih, mengungkapkan fakta yang terjadi di lapangan di mana para pekerja kontrak diberhentikan oleh perusahaan demi menghindari kewajiban membayar upah cuti melahirkan selama tiga bulan. Pada kasus lain, pekerja yang berstatus kontrak diminta mengundurkan diri saat mengajukan cuti melahirkan. Ada pula perusahaan yang memberikan hak cuti tetapi tidak selama tiga bulan penuh, bahkan ada yang tidak menggaji pekerjanya saat cuti. Seharusnya, perusahaan-perusahaan tersebut dikenakan sanksi atas pelanggaran hak cuti melahirkan. Namun, sejauh ini pelanggaran masih terus terjadi akibat pengawasan dinas tenaga kerja yang lemah terhadap perusahaan.
4. Perusahaan UMKM Berpotensi Kesulitan Memenuhi Aturan Tersebut
Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Bob Azam, meragukan seluruh perusahaan terutama UMKM sanggup memenuhi pembaruan hak cuti melahirkan yang tertuang pada UU KIA. Terlebih pada UMKM padat karya maupun sektor informal, seperti pedagang, rumah makan, dan usaha-usaha kecil lainnya, kebijakan ini dirasa memberatkan keuangan usaha yang belum mapan. Dengan disahkannya UU KIA oleh pemerintah, dikhawatirkan membuat pemilik usaha enggan mempekerjakan perempuan dan lebih memilih pekerja laki-laki untuk menghindari kewajiban pemberian cuti melahirkan.
Dari beberapa risiko yang mungkin terjadi, berikut alternatif solusi yang mungkin dapat diimplementasikan untuk menanggulangi risiko tersebut.
1. Membuat perjanjian atas kesepakatan bersama antara pekerja dan perusahaan mengenai cuti hamil dan melahirkan yang disesuaikan dengan kemampuan masing-masing perusahaan. Sebab, tidak semua perusahaan mampu memberikan tambahan cuti hingga enam bulan dengan skema penggajian yang telah ditetapkan. Dengan adanya kesepakatan ini, diharapkan pekerja juga telah mengetahui kondisi perusahaan dan menyanggupi untuk tetap bekerja di sana.
2. Menyusun aturan mengenai tambahan cuti bagi ayah agar mampu memberikan dukungan maksimal kepada ibu dalam mengurus bayi baru lahir. Hal ini juga dapat mengurangi kesenjangan hak cuti antara pekerja laki-laki dan perempuan, sehingga meminimalisir kecenderungan perusahaan untuk hanya memilih pekerja laki-laki. Hak cuti untuk ayah idealnya dua minggu sampai 40 hari atau setelah masa nifas ibu berakhir, sehingga ibu memperoleh kesempatan untuk memulihkan tubuhnya pasca melahirkan.
3. Menyusun aturan mengenai kewajiban perusahaan dalam merekrut pekerja laki-laki dan perempuan dengan persentase tertentu. Perusahaan tidak diperkenankan hanya memilih pekerja laki-laki dan menghindari pekerja perempuan untuk menghindari pemberian cuti melahirkan. Dengan demikian, marjinalisasi pekerja perempuan akibat disahkannya UU KIA ini dapat dicegah.
4. Pengawasan yang sistematis dan menyeluruh oleh pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan dan Dinas Tenaga Kerja setempat. Pemerintah diharapkan dapat membuat aturan terkait pengawasan implementasi UU KIA di setiap perusahaan serta sanksi atas pelanggaran hak-hak pekerja terkait kebijakan UU KIA. Sosialisasi kepada perusahaan dan pekerja mengenai UU KIA juga harus segera dijalankan untuk mencegah pelanggaran hak pekerja akibat ketidaktahuan maupun kesengajaan.
5. Pemerintah diharapkan dapat memberikan bantuan secara fiskal, seperti pemberian tunjangan ibu hamil dan melahirkan melalui BPJS Ketenagakerjaan orang tua untuk mendukung kebutuhan finansial keluarga pra dan pasca persalinan. Pengeluaran keluarga pasti meningkat, seperti pembayaran biaya persalinan, biaya pakaian, popok dan peralatan bayi, serta obat-obatan dan vitamin ibu dan bayi. Tunjangan ini juga dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan gizi seimbang ibu hamil dan menyusui agar mencegah stunting pada bayi.
6. Pemerintah sebaiknya juga memberikan bantuan kepada UMKM yang mempekerjakan karyawan perempuan dalam menjalankan kewajibannya memberikan cuti hamil dan melahirkan. Bantuan ini dapat berupa insentif bagi perusahaan yang dapat dialokasikan untuk membantu penggajian pekerja selama masa cuti maupun menggaji pekerja pengganti. Sehingga, UMKM memperoleh keringanan dalam upayanya mematuhi UU KIA.
Menurut pandangan penulis, sebenarnya niat pemerintah yang peduli akan kesehatan dan kesejahteraan pekerja perempuan yang sedang hamil dan melahirkan sangatlah baik. Namun, pada aturan yang tertulis, seolah-olah pemerintah berpihak sepenuhnya kepada ibu dan mengesampingkan kepentingan perusahaan sebagai pemberi kerja. Sementara, UU KIA ini dirasa memberatkan perusahaan karena harus lebih lama memberi hak cuti melahirkan dengan skema yang telah ditentukan. Padahal, tidak semua perusahaan dari segi finansial mampu menjalankan kebijakan ini. Untuk itu, perlu dilakukan pengkajian ulang atas UU KIA dengan melibatkan suara pekerja dan pemberi kerja agar dapat diperoleh kebijakan yang sama-sama menguntungkan bagi seluruh pihak. Di sisi lain, peran pemerintah dalam mendukung kebijakan ini juga sangat diharapkan, seperti pemberian tunjangan kepada ibu hamil dan melahirkan serta insentif bagi perusahaan yang memberikan cuti melahirkan. ***