Suatu sore di atas angkot, HPku berbunyi, nada dering Yearn. Aku kerepotan meraihnya. Tangan kananku memegang map besar, tangan kiriku meraba-raba tas, mencari resleting. Resleting tasku tanggal pula rupanya, aku tambah kerepotan. Angkot ini penuh sesak, macam-macam nafas bersetubuh di dalamnya, gerak tanganku mencari-cari celah resleting memperparah keadaan. HPku memekik semakin keras,tumpang tindih dengan pekikan musik angkot keren yang kunaiki ini.
“Ssh…,” seorang ibu beranak dua berdesis risih di sebelahku. Pingganggnya tersenggol-senggol siku tanganku. Dua anaknya yang dipangku mengangguk-angguk mengiringi irama nada deringku. Aku cengengesan sambil menundukkan kepala menaikkan bahu tanda meminta maaf pada ibu di sebelahku.
HP berhasil kuraih. Ibuku yang menelepon.
“Ra…, ada bawa x%shf98df…,” kalimat ibuku tak terdengar jelas.
“Apa, Bu?” tanyaku mengulang.
“Bawa ,h9h$$#fg%...,” masih tak terdengar.
Aku mengetuk-ngetuk kaca angkot dengan cincin di jariku. Berharap sopir angkot menurunkan volume musiknya. Tapi, sang sopir malah memberhentikan angkot. Caraku salah rupanya. Sopir angkot keren itu memang menurunkan volume musiknya tapi sekilas dapat kulihat wajahnya yang innocent alias masih sangat muda tersenyum miring sekaligus kesal oleh ulahku.
“Ada apa tadi, Bu?” tanyaku mengulang untuk kedua kalinya pada ibu.
“Lagi dimana, sih?” tanya ibu.
“Di angkot. Bawa apa tadi, Bu?,” aku mengulang pertanyaan yang ketiga kalinya.
“Ada bawa duit, Ra? Udah tanggal 20, listrik-air-telepon belum bayar,” tanya ibu kemudian menjawab pertanyaanku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H