Ilustrasi - karyawan (Shutterstock)
Di suatu sore saya mendapati seorang bapak yang sudah setengah baya duduk di salah satu sisi rumah sakit dengan wajah yang terlihat lemah dengan kereta dorong berisi pakaian bersih, selimut dan perlengkapan lainnya.
Saya (S) : Kok lemes, Pak?
Bapak X (B) : Iya, Neng.
S: Sudah berapa lama kerja d isini memangnya, Pak?
B: Sudah seumur kamu sepertinya, Neng.
S: Dari dulu kerjanya pernah pindah bagian, nggak?
B: Iya, hampir semua udah saya cobain. Cuma jadi tim medis yang belom. Bagian administrasi juga udah. Sekarang malah di laundry.
S: Wah udah hebat banget dong ya, Pak?
B: Apanya yang hebat Neng, dari dulu begini-begini aja.
Lalu lift terbuka dan dia pun bergegas pamit untuk melanjutkan pekerjaannya.
Seklumit percakapan di atas menggambarkan bahwa loyalitas dalam bekerja telah ia berikan. Hal ini ia buktikan dengan mengabdi ke tempatnya bekerja selama lebih dari 25 tahun. Dengan pengalamannya bekerja selama itu, usut punya usut dia sudah lupa kapan terakhir kali belajar. Ya benar, dia sudah lama sekali mengikuti pelatihan dan sejenisnya untuk meningkatkan kualitas kerjanya.
Hal serupa juga terjadi pada seorang petugas administrasi di rumah sakit tersebut, sebut saja ia Bibi. Bibi mengaku sudah lebih dari 10 tahun bekerja namun belum pernah mengikuti seminar ataupun pelatihan dari tempatnya bekerja. Ia menyatakan bahwa banyak karyawan yang nggak pernah pelatihan dan tidak melanjutkan sekolahnya lagi ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, namun ada beberapa yang masih semangat dan mau untuk melanjutkan pendidikannya.
Dua contoh kecil di atas menunjukkan bahwa pengembangan diri dan ilmu pengetahuan di tempat kerja tidak berjalan beriringan dengan loyalitas kerja seseorang. Tuntutan kerja yang tinggi seharusnya diimbangi dengan selain pendapatan yang sesuai (di mana pendapatan sering kali menjadi tuntutan utama) juga dengan pengembangan SDM yang dilakukan secara merata dan mumpuni. Mengingat perkembangan jaman begitu cepat, jika pengetahuan tidak terus di-“upgrade”, maka kualitas pelayanan di institusi tersebut tidak akan berkembang pesat.
Anggap saja institusi tersebut sudah melakukan training, pelatihan dan seminar untuk tenaga medis yang langsung bersentuhan dengan pasien. Namun apakah berjalannya sebuah institusi rumah sakit hanya ditentukan oleh kepintaran, kepandaian, dan ke-update-an tenaga medisnya?Tidak, bukan?
Bukankah dalam theory of constraint, dalam sebuah sistem the weakest link-lah yang harus segera diperbaiki. Saya ingat sekali ketika salah satu dosen saya menyatakan, jika ingin membuat sistem berjalan dengan baik kita harus mencari mana rantai terlemah dalam sistem tersebut. Selanjutnya perbaikan terhadap mata rantai yang terlemah akan menghasilkan perbaikan sistem.
Dikaitkan dengan dua pekerja di atas, mereka adalah penggerak berjalannya roda institusi yang bernama rumah sakit. Di mana mata-mata rantai penunjang inilah yang harus ditopang kuat demi kualitas pelayanan yang lebih baik. Bagaimana kita berbicara tentang penanganan infeksi nosocomial jika para petugas bahkan tidak memahami hal tersebut, di mana penekanan infeksi nosocomial membutuhkan komitmen dan dukungan dari berbagai pihak di rumah sakit. Bagaimana kita akan menekan angka kejadian infeksi, jika petugas kebersihan masih membersihkan ruangan dengan cara yang tidak tepat. Peningkatan kualitas di bidang SDM tersebut merupakan investasi yang tidak murah, namun juga tidak sedikit manfaatnya. Peningkatan kualitas SDM ini akan mendukung terjadinya perbaikan kinerja pekerja.
Peningkatan kinerja di sebuah institusi dipengaruhi oleh karakteristik pribadi, motivasi, pendapatan dan gaji, keluarga, organisasi, supervise, dan pengembangan karier (Ilyas, 2012). Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan karier juga berpengaruh pada kinerja para pekerja dalam sebuah institusi. Untuk memperbaiki kinerja ini dapat dilakukan beberapa langkah seperti melakukan diklat, seminar atau kegiatan lain yang dapat meningkatkan pengetahuan pekerja. Memberikan kesempatan untuk para pekerja dapat melanjutkan pendidikan adalah investasi yang berharga bagi institusi rumah sakit. Karena dengan dilakukannya hal ini akan berimbas pada perbaikan kualitas layanan rumah sakit. Sehingga slogan Pelayanan Prima akan segera tercapai dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia di dalam institusi tersebut.
Peningkatan kualitas pekerja melalui pendidikan ini lagi lagi memerlukan kebijakan dan concern yang besar dari para pemimpin institusi tersebut. Bentuknya pun tidak selalu dengan pendidikan formal, duduk di bangku kuliah, namun bisa juga dalam bentuk pelatihan, seminar, ataupun workshop. Sehingga tidak ada lagi pekerja yang akan bertanya “Kapan aku di-upgrade?”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H