Mohon tunggu...
Nilam Khoerunnisa
Nilam Khoerunnisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Communication science student

Half muggle and Wizard

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Double Standard Tak Berdasar

3 Agustus 2023   22:45 Diperbarui: 4 Agustus 2023   20:11 535
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image : Boredpanda.com/Pinterest

Perdebatan tentang standar ganda atau double standard memang tidak ada habisnya, berbagai opini dari sudut pandang berbeda terus disuarakan agar kesetaraan bisa didapatkan. Standar ganda adalah perlakuan berbeda, yang ditunjukan oleh seseorang atau sekelompok orang pada suatu keadaan atau kasus yang sama.

Misalnya ada sebuah keadaan dimana kubu A boleh melakukan itu, sedangkan kubu B tidak boleh. Kubu A pantas mendapatkan ini, tapi tidak dengan kubu B. Tanpa sadar semua itu dinormalisasikan dalam kehidupan kita sehari-hari, padahal tak ada yang normal dengan kondisi seperti itu.

Pada dasarnya standar ganda merupakan hasil dari ego suatu individu atau kelompok, yang merasa pemikirannya paling benar, paling adil, dan merasa paling berhak daripada orang lain. Kemudian mereka akan mengkotak-kotakan suatu hal sesuai dengan standar yang mereka buat sendiri. 

Biasanya standar ganda itu berkaitan dengan gender, sosial, politik, dan hukum. Standar ganda juga bisa terjadi di semua lingkungan,  dari lingkungan keluarga, masyarakat, sekolah, hingga lingkungan pekerjaan. 

Contoh kasus sederhana dari standar ganda, yaitu dalam hal berpakaian. Pakaian berwarna pink itu untuk perempuan bukan untuk laki-laki, lalu jika laki-laki menggunakan pakaian berwarna pink mereka akan dianggap "banci". Bisa dilihat, dari hal sederhana saja masyarakat sudah membentuk standarnya sendiri dan menormalkan hal itu.

Jika diulik lebih lanjut standar ganda terjadi karena beberapa faktor, yaitu karena kesenjangan sosial, lalu mindset orang-orang yang tidak berkembang, dan juga ego dalam mengutamakan keuntungan untuk diri sendiri.

Standar ganda ini sudah terjadi sejak lama, dan terus terjadi secara turun temurun layaknya sebuah budaya. Padahal tak ada keuntungan dari kondisi ini, yang kita dapat hanya ketidakadilan bagi semua kalangan tanpa terkecuali. Biasanya sekelompok orang yang mewajarkan hal ini akan bersandar pada alasan yang dirasa menguntungkan bagi dirinya sendiri.

Ada contoh kasus standar ganda yang memberikan tekanan pada suatu gender. Seperti ada sebuah keadaan dimana pendapat perempuan sulit didengar, sedangkan pendapat laki-laki akan didengarkan dengan cermat.

Image : Boredpanda.com/Pinterest
Image : Boredpanda.com/Pinterest

Dalam konteks gender, perempuan dituntut untuk melakukan pekerjaan rumah dan mengurus anak sedangkan laki-laki tidak. Lantas, atas dasar apa perempuan harus menerima perlakuan seperti ini?

Lalu, ketika kita meminta alasan tentang ketidakadilan ini kepada mereka yang mendukung standar ganda, mereka akan menyuarakan alasan-alasan tak mendasar, yang dibalut dengan norma salah kaprah yang disuarakan tanpa ada rasa bersalah.

Pada kasus seperti ini ketika laki-laki tidak bisa membersihkan rumah, hal itu akan dianggap wajar dengan dalih "ya wajarlah, namanya juga laki-laki". Sedangkan jika kejadian tersebut menimpa perempuan, respon yang didapatkan akan sangat berbeda.

Perempuan tidak bisa memasak atau membersihkan rumah akan dianggap pemalas, padahal memasak dan membersihkan rumah merupakan salah satu basic life skill yang harus dimiliki setiap manusia.

Mirisnya ungkapan tersebut biasanya diucapkan oleh sesama gender yang menganggap dirinya berbeda dengan orang lain, dan merasa dirinya paling benar.

Contoh lain dari standar ganda dalam lingkungan sosial, ketika laki-laki tidak mampu mengenai suatu hal biasanya mereka akan menghakiminya sebagai seorang individu. Tapi jika hal itu terjadi pada perempuan, mereka akan berpendapat bahwa perempuan secara umum memang payah.

Image : Boredpanda.com/Pinterest
Image : Boredpanda.com/Pinterest

Kasus lain yang sering terjadi yaitu standar ganda bagi orang-orang yang memiliki penampilan menawan. Orang-orang yang memiliki paras yang rupawan akan lebih mudah diterima daripada orang-orang yang memiliki wajah pas-pas an.

Image : Sunny Street/ Pinterest
Image : Sunny Street/ Pinterest

Sekarang masyarakat mulai mengeluh dengan adanya standar ganda ini, tapi tanpa mereka sadari masyarakat sendirilah yang sering melakukan hal itu terhadap suatu objek atau kasus tertentu. Jika pemikirannya dikritik, mereka tidak akan terima dan malah menyalahkan. Tapi ketika standar ganda ini merugikan mereka, barulah mereka akan berusaha dengan keras untuk meminta keadailan atas apa yang mereka alami.

Memang tidak mudah untuk menghilangkan standar ganda ini, namun bukan berarti itu tidak mungkin. Kita bisa mulai dari sekarang untuk melunakan standar ganda ini dan menghapuskannya secara perlahan. 

Semua itu bisa kita mulai dengan mengubah mindset kita bahwa semua gender itu setara, baik perempuan ataupun laki-laki, kaya atau miskin, berpangkat atau tak berpangkat. 

Mulai rubah batasan-batasan gender yang mengekang dan mulailah bersikap adil kepada semua pihak. Namun yang harus digaris bawahi adalah gerakan dan pendapat yang kita suarakan harus tetap berjalan sesuai dengan hukum, dan tidak boleh melenceng dari norma yang berlaku.

Referensi:

Fakhrizal, Miftah. "Menilik Fenomena Standar Ganda di Masyarakat". ITS, 20 April 2020.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun