Penguasa
Duka Corona, SukaKarya: Nilam Sari Pailokol
Kesesakan mendera, pandemi corona beradikara menyelimuti marcapada. Â Melumurkan sepat yang dahulunya manis. Sang maha menteri pun takluk tak berdaya, terseok-seok menyangga diri. Apalagi kami kasta bawah?
Tanpa nalar melanggungkan belas kasih, bertahan agar tak rampuh dari nasib buruk yang tak juga tumpas. Dari penyakit yang kian menyusup tinggi, kami menjadi ahmak. Bak kerbau bercocok hidung yang menuruti sabda sang puan, demi sejahtera dan kembali hidup dalam damai layaknya sediakala.
Kami terdiam pasrah ketika tuan-tuan  menjilat dengan manis. Dalam benak tak apa, namun batin meratapi. Tak berhatikah mereka menyaksikan kami terkurung pilu, bersusah payah tetap hidup?
Dulu mereka kami agungkan tanpa syarat. Kini bagai angin lalu, kami dilupakan. Mereka melumat habis milik kami tanpa melirik besarnya pengorbanan kami menggenggam. Kalkulasi dosa yang mereka genggam. Tidak. Itupun bahkan tidak setimpal.
Ahhh!! Sungguh dakhil menelangsa...
Sebelum corona mencaruk bumi, kami pernah bersuka cita. Menikmati kopi kala pagi dan petang sembari terdengar senandung perincit. Kini aroma pahit nyata terasa, pun manis berubah hambar. Kini Senandung nestapa telah lahir dari alunan merdu yang dahulu kami dengar. Inikah hidup? Saat Jagat berjarak tembok batu, Saat segala asa terungku dalam keruh bumi, kepada siapa kami harus mengadu?
Beralaskan sajadah lesu, kami bermunajat untuk nasib bumi pertiwi. Kan kami teruskan takdir tuk menyulam damai bersatu, melaraskan negeri tanpa berat satu.
Lekaslah sembuh, lekaslah membaik negeriku. Kami merindukan bumi hijau yang dahulu belum ternoda.
Jalan Buntu, 23-11-2021.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H