[caption id="attachment_361498" align="aligncenter" width="256" caption="Melangkah Bersama Membangun Bangsa"][/caption]
Kita tentu masih ingat, Persatuan Indonesia merupakan bunyi dari sila ke-3 Pancasila. Satu dari lima poin penyusun adonan dasar yang hingga detik ini masih ampuh membuat Pertiwi kokoh berdiri.
Kita tentu tak bisa lupa, betapa terburu-burunya kita berangkat ke sekolah di Senin pagi, demi menghindari hukuman yang mampu membuat wajah seketika pasi. Khusyuk merapal ulang lima sila, biar cepat selesai upacara benderanya.
Tapi kita mungkin saja lupa, berapa tepatnya nominal rupiah yang dahulu dikeluarkan untuk membeli kelengkapan kelas yang terdiri dari foto Pak Presiden, foto Pak Wakil Presiden, Lambnag Negara, foto-foto pahlawan, dan tentunya Pancasila, ketika nuansa putih dan biru masih erat melekat pada tubuh remaja kita.
Menyedihkan? Tidak juga. Toh peristiwa-peristiwa tersebut hanya segelintir kenangan masa kecil yang masih penuh akan warna. Yang sejatinya menyedihkan adalah fakta bahwa nilai-nilai yang katanya luhur itu kini terseret arus globalisasi yang alpa disaring masuknya. Dan yang lebih menyedihkan lagi adalah fakta mengorasikan gerusan lupa itu kian kelam dalam ketidakpedulian rakyat Indonesia. Tidakkah ada yang merasa kehilangan? Tidakkah ada yang dalam dadanya bersemayam kobar rindu yang menggelora?
Tak perlulah muluk-muluk Pancasila jika untuk menemukan satu saja sila yang masih hidup rasanya tak berdaya. Indonesia memang pandai beretorika. Mengolah sekeranjang frasa menjadi semangkuk sajian lezat bernegara. Pemerintahan yang adil dan demokrasi, melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, meningkatkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan perdamaian dunia. Sungguh cita yang mulia. Sungguh cita yang harum baunya. Namun sayang, semua kenikmatan itu baru berupa angan, ingin, dan ilusi. Semua kenikmatan itu baru memasuki “daftar barang yang harus dibeli.”
Mari tengok kanan dan kiri. Sejauh mata memandang yang terlihat adalah muda mudi sibuk memijat layar smartphone-nya, berpura-pura tidur demi sepetak lahan duduk, ringan tangan melempar bungkus permen ke kali, iseng meninggalkan bekas kunyahan permen karet di bawah kursi, dan sebagainya, dan sebagainya.
Mungkin terdengar sepele. Namun jangan salah, seringkali yang sepele itulah yang justru menjadi kunci persatuan hakiki. Ibarat sehelai lidi, ia tak akan mungkin bisa membersihkan daun-daun kering di halaman jika bergerak sendiri. Ia tak akan mungkin bisa disebut sapu lidi jika tidak terikat dengan kawanan lidi-lidi lain.
Alangkah individualis bin egois Indonesia kini. Begitu angkuh, bahkan untuk belajar dari kekompakkan segenggam sapu lidi. Namun begitu, bukan berarti orang yang baik dan peduli sudah punah dan tidak ada lagi. Mereka sejatinya masih ada. Hanya saja, mungkin, ditenggelamkan berbagai kesibukan –yang tentunya masih dalam koridor kebaikan.
Maka atas nama cinta pada Pertiwi, serta demi mewujudkan cita dan mengangkat kembali identitas bangsa, urgensi Persatuan Indonesia hendaklah kembali diberikan nyawa. Bukan karena sudah mati. Bukan, sama sekali bukan, melainkan layu. Agak layu. Butuh siraman air segar nan baru. Dari kita, pemuda dan pemudi, sang pembaharu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H