Saya : *mengirim undangan konferensi pers
Wartawan X : Siap mba, trimakasih
Saya : semoga bisa hadir yaaa... :)Â
Wartawan X : siap mba. Aman nggak nih?
Di atas adalah potongan percakapan WA yang sudah sangat biasa saya hadapi dalam 5 tahun terakhir ini saat mengundang wartawan untuk hadir ke sebuah acara media gathering atau konferensi pers. Sudah bukan rahasia lagi, pertanyaan terakhir "Aman nggak nih?" merujuk pada apakah disediakan transport untuk wartawan yag hadir di acara tersebut.
Lumrahnya, dalam sebuah acara media, penyelenggara menyediakan : siaran pers dan sedikit souvenir sebagai kenang-kenangan. Wartawan yang hadir juga dapat menikmati hidangan snack berteman teh dan kopi, makan siang atau makan malam bila acara diadakan sore atau malam. Untuk urusan amplop berisi uang transportasi, bisa iya dan bisa tidak.Â
Lupakan sejenak soal amplop berisi lembaran rupiah.Â
Sebenarnya, apa sih tujuan kita mengundang wartawan datang ke acara kita?
Lalu apa pula tujuan wartawan mau hadir ke acara yang kita selenggarakan?
Sejak secara tak sengaja saya nyemplung ke dunia agency  dengan  tugas sebagai Media Relations, saya belajar ilmu "Media Handling" secara otodidak. Betul latar belakang saya adalah wartawan. Namun punya pengalaman sebagai wartawan bukan berarti secara instan saya bisa mengelola media - salah satu tugas seorang Media Relation. Hadir meliput acara tidak sama dengan mengupayakan kehadiran wartawan agar datang ke acara. Saya masih ingat project pertama,  sebuah konferensi pers tentang alat kontrasepsi. Klien nya adalah salah satu brand penyedia alat kontrasepsi dan organisasi kebidanan di Indonesia.Â
Saya masih ingat bagaimana tegangnya hari-hari sebelum acara, undangan sudah di sebar, yang konfirmasi menyatakan hadir baru 1 - 2 media, acara sudah tinggal besok, belum lagi klien bertanya terus sudah berapa media yang akan hadir?Â
Stress. Mungkin itu pertama kalinya saya tahu bagaimana rasanya stress. Keringat dingin, tidak nafsu makan, bingung dan segala perasaan buruk bercampur aduk. Malam menjelang acara, usai sholat saya berdoa seperti ini "Ya Allah, tak peduli besok yang hadir media besar, media lokal, media abal-abal, yang penting datangkan 25 orang di dalam ruangan. Amin,"
Syukur Alhamdulillah, 15 menit sebelum acara dimulai, lebih dari separuh kursi di ruangan sudah terisi. Artinya, target kehadiran media tercapai. Kabar baiknya lagi, sebagian besar adalah media mainstream alias media-media yang kompeten dan memang diharapkan kehadirannya. Dari sisi pemberitaanpun hasilnya sangat menggembirakan. Intiya setelah acara selesai, saya sanggup menghabiskan 2 mangkok bakso urat.Â
Saya kemudian mulai berteman dengan teman-teman media yang hadir pada saat itu. Dengan rekan-rekan dari media mainstream, juga rekan-rekan media tear 2 - istilah yang biasanya digunakan untuk media baru, media lokal, media yang belum terkenal atau media yang baru sekali itu terdengar namanya.Â
Pernah ada yang heran, kenapa saya juga mau akrab dengan media yang bukan tear 1. Dia heran dengan saya, saya lebih heran dengan pertanyaannya. Kenapa harus pilih-pilih teman?Â
Alhasil, pada acara-acara media berikutnya, saya tidak pernah melupakan mengundang teman-teman media yang dari tear 2. Ada yang selalu datang, ada yang sesekali datang, ada nggak pernah datang lagi, ada yang bertanya "aman nggak?".
Saat memang ada alokasi khusus untuk transport media, saya akan jawab "aman". Tapi bila memang tidak ada, terkadang teman-teman media tetap datang. Mereka tetap  menulis. Kenapa? karena sesungguhnya, yang dibutuhkan media bukan sekedar amplop. Peristiwa, narasumber, materi serta hubungan yag baik dengan pengundang. Tambahan transport tadi atau uang saku atau perdiem adalah bonus.Â
Kini, saat teknologi semakin berkembang dan dengan semakin mudahnya akses, situs-situs berita online semakin menjamur. Saya pun terkadang mengernyitkan dahi, saat berkenalan dan mereka menyebutkan nama media yang baru sekali itu saya dengar. Kadang namanya mirip-mirip media mainstream, kadang malah terdengar aneh. Tapi tetap saja, saya tidak keberatan memberikan kartu nama dan bertukar no hp.Â
Akhir-akhir ini, saya sering mendengar cerita dari salah satu teman wartawan dari media tear 2. "Kita sering dipandang sebelah mata, selalu dianggap cuma mau dapat goodie bag atau transport, padahal kita datang ke acara karena butuh wawancara narasumber" keluhnya.Â
Tak hanya di acara, bahkan pada saat konfirmasi kehadiran media pun sudah terjadi diskriminasi. Di abaikan, bahkan ada yang menjawab bahwa media tersebut tidak diundang.Â
Saya gemas, sekaligus sedih. Gemas dengan jawaban yang menunjukan pengundang tidak tahu cara berteman dengan media , (atau memang  terlalu yakin bisa menghadirkan media-media besar?). Sedih karena saat ada teman media yang benar-benar membutuhkan konten malah menjadi korban dari image "wartawan amplop" yang kerap disematkan terhadap media tear 2.Â
Oh ya, sedikit info tentang mengundang media untuk teman-teman PR / Media Relations lain atau bahkan untuk bran-bran yang berniat menyelenggarakan acara media:
Saat kita mengundang media A, B, C, D, E datang ke acara kita, belum tentu yang datang adalah media yang di undang. Bisa jadi yang datang adalah media D, E, F, G. Nah, apabila kejadian seperti ini, apakah lantas kita akan mengusir media F & G?
Kita tidak mengundang F & G, tapi kenapa mereka bisa mendapat undangan dan hadir di acara?Â
Karena ketahuilan, sesama wartawan itu solidaritasnya cukup tinggi. Pada saat satu orang mendapat undangan liputan, biasanya undangan tersebut akan di forward ke teman-teman nya yang lain (sekarang bahkan tinggal forward ke group), dengan pertimbangan siapa tahu ada yang membutuhkan informasi/ narasumber di acara tersebut. Â
Jadi jangan  heran, bila ada  media yang tidak ada di dalam list undangan, belum tentu mereka bodrek, dan bukan berarti juga mereka sekedar mengharapkan goodie bag atau amplop berisi lembaran rupiah.Â
---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H