Minggu lalu, saat peringatan Hardiknas, 2 Mei 2023 , Alif (kelas 2 SD) harus mengenakan pakaian adat ke sekolah. Seperti biasa, dia selalu semangat dengan hal-hal baru, juga dengan rencana ke sekolah dengan pakaian adat tersebut. Alhasil pertanyaan-pertanyaan Ajaib seputar baju adat terlontar dan sedikit bikin mandeh pusing mencari jawabannya. Apa itu baju adat, kenapa harus pakai baju adat, nanti Alif pakai baju adat apa, Alif ada baju adat?
Upss...tenang boy, mari kita bongkar lemari!
Malam itu, kami membongkar lemari 'wardrobe' hasil perjalanan mandeh keliling Nusantara. Saya tunjuk tumpukan kain warna warni dan menyuruh Alif memilih mana yang dia suka. Setelah berfikir sejenak, tangan mungilnya menarik sehelai kain berwarna merah dengan kombinasi benang emas: ULOS.
"Mau yang ini, ini baju adat apa?"
Selanjutnya adalah sesi story telling dengan bantuan mbah Google. Kenapa harus pakai mbah Google? Karena pengetahuan mamak sebenarnya juga cuma alakadarnya, sekedar tahu Ulos adalah tenun khas suku Batak. Sementara pertanyaan si bocil pasti berbuntut seperti kenapa..kenapa ..dan seterusnya. Disamping dia juga selalu ingin lihat gambar-gambanya.
"Ini namanya kain Ulos, kain tenun orang Batak. Orang Batak itu suku yang asalnya ada di Sumatera Utara, dekat Sumatera Barat -- kampung Alif. Kain Ulos biasanya dipakai di acara-acara adat seperti pesta, jenisnya juga macam-macam tergantung dipakainya untuk apa, dan ada artinya juga setiap jenisnya itu. Biasanya kain ulos itu dikasihkan untuk seseorang, karena itu kain ulos itu punya makna kasih sayang, karena kita kasih pasti untuk orang yang kita sayang,"
Demikian kira-kira cerita sederhana saya, meskipun diluar itu sebenarnya banyak pertanyaan-pertanyaan absurd yang saya butuh beberapa menit memikirkan jawabannya. Misalnya "kain ulos itu berteman dengan orang Melayu?" atau "mama pernah pakai kain ulos ke pesta" dll
Keesokan harinya, sepulang sekolah, Alif dengan semangat cerita ia dapat hadiah dari Bu Guru karena bisa cerita tentang Ulos. Saya tanya memang Alif cerita apa? "Alif bilang pakai baju Adat orang Batak. Tapi Alif bukan orang Batak. Tapi Alif tidak punya teman orang Batak ma, soalnya cuma Alif yang pakai Ulos Batak, adanya teman-teman pakai baju melayu sama Betawi... dst"
Agak random sih ceritanya yaa , tapi saya pikir cara ini adalah starting point yang bagus untuk mengatasi gap antara generasi terdahulu dengan generasi milenial ataupun generasi yang lahir sesudahnya, yaitu dengan lebih banyak bercerita tentang akar budaya namun dengan cara yang lebih sederhana dan memanfaatkan hal-hal yang ada di sekitar kita. Sebisa mungkin, saya mendekatkan keluarga dengan menjadikan akar cultural ini sebagain bagian dari keseharian kami.
Misalnya kain kain-kain Nusantara, selain sekedar disimpan di lemari, beberapa kami gunakan sehari-hari seperti selimut buat kruntelan Alif di mobil, sebagai sarung atau bawahan saya kenakan di acara-acaraformal, bahkan sepasang tenun asal Sumba saya jadikan gorden di salah satu sudut rumah. Tidak kalah aesthetic juga dengan produk-produk kekinian :)
Sudah bukan rahasia, saat ini kita menghadadapi generation gap - dimana buruknya komunikasi antara generasi muda dan tua dikarenakan tumbuh dengan value dan perspektif yang berbeda-beda akibat perbedaan usia. Yang pasti, hal ini bukan sesuatu yang bisa dihindari. Menariknya lagi, hal ini terjadi karena untuk pertama kalinya juga di Indonesia saat ini ada empat generasi yang masih exist: gen Z, millenial, gen X, dan baby boomers. Yang pasti, keempat generasi tersebut memiliki karakteristik dan cara pandang yang berbeda-beda.
Perbedaan nilai-nilai, sikap, dan juga gaya hidup antara generasi yang lebih tua atau yang lebih muda sangat berbeda dari generasi sebelumnya atau yang belakangan. Sehingga mereka tidak memiliki kesamaan dan tidak memiliki hubungan apapun. Secara singkat, generation gap adalah buruknya komunikasi antara generasi muda dan tua dikarenakan tumbuh dengan value dan perspektif yang berbeda-beda akibat perbedaan usia. - dari berbagai sumber
Tudingan bahwa milenial yang cenderung menuhankan teknologi hingga lupa akar budayanya, minim adat dan adab dll, kerap menjadi pemicu konflik. Bisa jadi benar, bisa jadi tuduhan tersebut berlebihan dari generasi sebelumnya yang kadang juga merasa lebih tahu, karena lebih banyak makan asam garam kehidupan.
Tahun lalu, dalam sebuah diskusi bersama salah satu guru besar salah satu Universitas di Surabaya, beliau mengeluhkan betapa susahnya mengajar mahasiswa di era saat ini. Dan lagi-lagi, secara tidak langsung beliau mengomentari cara komunikasi kaum milenial yang terkesan sok tahu.
Di sisi lain, beliau juga menyadari, anak sekarang lebih gampang memahami yang berbau teknologi dibanding hal-hal yang bersifat hubungan sosial masyarakat. Saya pun hanya angguk-angguk, sebagian setuju sebagian juga tidak.
Karena itu, saya rasa, alih-alih berdebat siapa yang lebih baik, kenapa tidak kita mulai melakukan hal-hal positif seperti mengemas konten story telling untuk anak dengan kisah-kisah yang sarat akan nilai-nilai luhur nusantara?
Tradisi memakai baju daerah di beberapa moment misalnya, daripada sekedar perayaan dengan baju daerah, mungkin ada baiknya juga kita mulai mengajarkan hal-hal yang sifatnya lebih mengakar, seperti nilai-nilai pada baju adat, maknanya, tata cara atau etika dan lain-lain.
Sejatinya, hal ini adalah bentuk implementasi dari kurikulum P5 (Project Penguatan Profil Pancasila), yang dalam beberapa tahun belakangan ini sudah di terapkan. Siswa di beri project, misalnya memilih 1 kesenian daerah untuk dipentaskan, tapi mereka juga harus menyiapkan presentasi tentang kesenian tersebut, mulai dari sejarah, nilai-nilai yang terkandung hingga perkembangan dan akulturasi yang terjadi akibat perubahan zaman. Cara seperti ini juga akan lebih berkesan bagi anak/ siswa, ketimbang sekedar membaca dari buku pelajaran.
Sejumlah sekolah bisa dapat menerapkan dengan baik sehingga goals dari kurikulum ini dapat tercapai, namun tidak sedikit juga yang belum optimal, karena banyak faktor, internal sekolah sendiri maupun faktor-faktor eksternal seperti akses siswa dan keterbatasan. Dan pastinya kita menyadari kita butuh waktu untuk menyempurnakan sistem ini, yang pasti 5 tahun saja tidak cukup.
Apalagi dalam waktu dekat kita akan menghadapi tahun politik yang tentunya sarat akan kepentingan-kepentingan. Pemimpin boleh berganti, tapi pendidikan sebaiknya berjalan tanpa ada intervensi politik. Jangan sampai ganti pemimpin-ganti kurikulum. Kasian para pendidik akhirnya pembekalan sistem/ metode/ kurikulum baru melulu, tapi jadi minim waktu untuk implementasi dan pengembangan.
Selamat Hari Pendidikan Nasional 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H