Mohon tunggu...
Nia Rahman
Nia Rahman Mohon Tunggu... Konsultan - In Communication We Trust

Work Hard, Travelling a Lot. Tell your story to the world!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ulos

7 Mei 2023   18:10 Diperbarui: 7 Mei 2023   18:30 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dari rumah Ulos dipakai di sampirkan di bahu. Laporan foto dari sekolah, jadi seperti ini hahaha...

Tenun Sumba di satu pojok rumah :)/Dokpri
Tenun Sumba di satu pojok rumah :)/Dokpri


Sudah bukan rahasia, saat ini kita menghadadapi generation gap -  dimana buruknya komunikasi antara generasi muda dan tua dikarenakan tumbuh dengan value dan perspektif yang berbeda-beda akibat perbedaan usia. Yang pasti, hal ini bukan sesuatu yang bisa dihindari. Menariknya lagi, hal ini terjadi karena untuk pertama kalinya juga di Indonesia saat ini ada empat generasi yang masih exist:  gen Z, millenial, gen X, dan baby boomers. Yang pasti, keempat generasi tersebut memiliki karakteristik dan cara pandang yang berbeda-beda.


Perbedaan nilai-nilai, sikap, dan juga gaya hidup antara generasi yang lebih tua atau yang lebih muda sangat berbeda dari generasi sebelumnya atau yang belakangan. Sehingga mereka tidak memiliki kesamaan dan tidak memiliki hubungan apapun. Secara singkat, generation gap adalah buruknya komunikasi antara generasi muda dan tua dikarenakan tumbuh dengan value dan perspektif yang berbeda-beda akibat perbedaan usia. - dari berbagai sumber


Tudingan bahwa milenial yang cenderung menuhankan teknologi hingga lupa akar budayanya, minim adat dan adab dll, kerap menjadi pemicu konflik. Bisa jadi benar, bisa jadi tuduhan tersebut berlebihan dari generasi sebelumnya yang kadang juga merasa lebih tahu, karena lebih banyak makan asam garam kehidupan.

Tahun lalu, dalam sebuah diskusi bersama salah satu guru besar salah satu Universitas di Surabaya, beliau mengeluhkan betapa susahnya mengajar mahasiswa di era saat ini. Dan lagi-lagi, secara tidak langsung beliau mengomentari cara komunikasi kaum milenial yang terkesan sok tahu. 

Di sisi lain, beliau juga menyadari, anak sekarang lebih gampang memahami yang berbau teknologi dibanding hal-hal yang bersifat hubungan sosial masyarakat. Saya pun hanya angguk-angguk, sebagian setuju sebagian juga tidak. 


Karena itu, saya rasa, alih-alih berdebat siapa yang lebih baik, kenapa tidak kita mulai melakukan hal-hal positif seperti mengemas konten story telling untuk anak dengan kisah-kisah yang sarat akan nilai-nilai luhur nusantara? 

Tradisi memakai baju daerah di beberapa moment misalnya, daripada sekedar perayaan dengan baju daerah, mungkin ada baiknya juga kita mulai mengajarkan hal-hal yang sifatnya lebih mengakar, seperti nilai-nilai pada baju adat, maknanya, tata cara atau etika dan lain-lain. 

Sejatinya, hal ini adalah bentuk implementasi dari kurikulum P5 (Project Penguatan Profil Pancasila), yang dalam beberapa tahun belakangan ini sudah di terapkan. Siswa di beri project, misalnya  memilih 1 kesenian daerah untuk dipentaskan, tapi mereka juga harus menyiapkan presentasi tentang kesenian tersebut, mulai dari sejarah, nilai-nilai yang terkandung hingga perkembangan dan akulturasi yang terjadi akibat perubahan zaman. Cara seperti ini juga akan lebih berkesan bagi anak/ siswa, ketimbang sekedar membaca dari buku pelajaran. 

Sejumlah sekolah bisa dapat menerapkan dengan baik sehingga goals dari kurikulum ini dapat tercapai, namun tidak sedikit juga yang belum optimal, karena banyak faktor, internal sekolah sendiri maupun faktor-faktor eksternal seperti akses siswa dan keterbatasan. Dan pastinya kita menyadari kita butuh waktu untuk menyempurnakan sistem ini, yang pasti 5 tahun saja tidak cukup. 

Apalagi dalam waktu dekat kita akan menghadapi tahun politik yang tentunya sarat akan kepentingan-kepentingan. Pemimpin boleh berganti, tapi pendidikan sebaiknya berjalan tanpa ada intervensi politik. Jangan sampai ganti pemimpin-ganti kurikulum. Kasian para pendidik akhirnya pembekalan sistem/ metode/ kurikulum baru melulu, tapi jadi minim waktu untuk implementasi dan pengembangan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun