30 Juni 2019, sesaat setelah turun dari Rinjani, kami (Saya, Vian & Surya) -- kaum mageran yang gegayaan pengen naik gunung - Â dijemput seorang kawan asli Lombok. Malam itu ia membawa kami menginap di rumahnya yang berada di sekitar pantai Senggigi.
"Maaf, cuma ada 1 kamar, Nila aja yang dikamar, kita diluar nggak apa apa kan?" ujarnya ke arah dua sahabat ngebolang saya kala itu. Mata sudah berat, badan sudah tak bertulang rasanya. Kami mengiyakan saja. Sembari menutup pintu kamar, saya mengintip mereka bertiga menggelar karpet tipis untuk alas tidur. Sejenak rasa bersalah hinggap, tak tega tapi ya sudahlah
Saya bisa pastikan, kasur yang saya tiduri sangat empuk. Tapi memang dasarnya tulang dan otot sedang berantakan, saya tidak bisa memejamkan mata. Miring kanan kiri rasanya sakit semua. Yahh...Namanya juga body biasa nangkring 8 jam depan PC, giliran di ajak menapaki jalanan berbatu, berdebu, beberapa kali terperosok, jadinya begini, mendadak jompo. Sementara dari arah luar, saya mendengar dengkuran bersahut-sahutan, ketiga bujang di luar sudah nyenyak. Hmm...tidur lelap ternyata bukan soal seberapa empuk kasurnya, tapi karena ada temannya #eh
Entah jam berapa saya tertidur, yang pasti saat membuka mata keesokan hari, matahari sudah tinggi. Ruangan-ruangan di rumah mungil itu sepi, hanya terlihat 3 carriel tergeletak berantakan. Rupanya, mereka sedang asyik ngopi di halaman rumah. Barulah saat itu saya bisa memperhatikan lingkungan rumah yang ternyata lumayan luas. Ada semacam workshop kayu di tengah halaman, disitulah mereka sedang asyik menikmati the dan kopi.
Melihat saya di teras rumah, mereka melambai. Saya meghampiri. Tak berapa lama, datang satu keluarga kecil sambil membawa bungkusan. Rupanya mereka adalah kakak kawan yang menjemput kami, baru pulang dari pasar. Kami berkenalan, dan tak butuh waktu lama langsung akrab.
Sang istri ternyata perempuan asal Subang yang sejak menikah langsung pindah ke Lombok ikut suami. Jelas kedekatan geografis -- dan mengingat saya juga beberapa bulan sebelumnya baru saja ditugaskan di Subang, kami menjadi nyambung satu sama lain. Sementara sang suami, adalah mantan reporter TV yang pensiun dini dan memilih jadi pengusaha produk kreatif asli Lombok. Sepasang suami istri tersebut, berikut adiknya yang sepantaran kami menyukai gunung, pantai dan hutan -- sama seperti kami. Sungguh tidak habis pikir, bagaimana semesta bisa bekerja se indah ini. Â
Singkat kata, mereka membongkar belanjaan dari pasar. Ada jajanan pasar khas Lombok dan juga beberapa bungkusan seperti bungkus gado-gado, tapi dari daun pisang yang ternyata isinya adalah sayur kangkung yang direbus, dengan sambal terasi dan dengan topping lontong daun. Saya sebut topping, karena si lontong yang lumayan banyak itu berada di lapisan paling atas.
"Sarapan seadanya ya," begitu mereka mempersilakan. Kami langsung menyantap tanpa banyak tanya. Serius, awalnya saya tidak berekspektasi banyak terhadap suguhan tersebut -- mengingat saya bukan pencinta sayuran. Tapi ternyata rasanya sungguh nempel di lidah. Jika mau membuat daftar kuliner favorit yang saya temui sepanjang sejarah per-travelling -- an, menu sarapan yang saya makan pagi itu sudah pasti berada di urutan no wahid.
"Namanya Plecing, biasa disini buat sarapan. Dulu pas awal pindah ke sini saya merasa aneh, biasa sarapan ketupas sayur, sekarang jadi sarapan sayur rebus dikasih lontong. Tapi ternyata enak, favorit kita ini. Enak kan? " kakak iparnya menjelaskan. Mungkin ia melihat saya yang sempat bingung saat melihat isi bungkusan, tapi setelah suapan pertama seolah lupa dengan yang lain. Lidah ini terlalu fokus dengan setiap rasa yang tercecap.
Sejak hari itu, setiap memasuki resto khas Bali atau Lombok, saya selalu memesan menu plecing kangkong. Namun sayangnya, hingga saat ini belum ketemu plecing dengan topping lontong. Rata-rata plecing kangkung yang saya temui toppingnya tauge, kacang tanah atau kelapa yang di gongseng. Sekali waktu saya pernah befikir, plecingnya mungkin biasa saja, sama dengan plecing-plecing yang disuguhkan resto di Jakarta. Namun kehangatan dan ketulusan si tuan rumah yang membuat segala sesuatu menjadi nikmat.
Hari ini, saya kembali rindu rasa plecing dengan lontong daun yang legit itu. Bermodal resep di google, jadilah menu sarapan Plecing Kangkung ini. Soal rasa, tentu saja jauh dari mirip. Tapi setidaknya, kangkung dan sambal terasi ini cukup untuk me-recall ingatan tentang sebuah rasa yang kaya dari keluarga kecil di tepi pantai Senggigi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H