Mohon tunggu...
Nia Rahman
Nia Rahman Mohon Tunggu... Konsultan - In Communication We Trust

Work Hard, Travelling a Lot. Tell your story to the world!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Najwa Shihab dan Maudy Ayunda, antara Kodrat dan Stigma Masyarakat

29 Mei 2022   21:22 Diperbarui: 31 Mei 2022   12:30 2272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Momen saat Najwa Shihab dan Maudy Ayunda saling menyetujui pernyataan terkait senang dengan ujian. (sumber: HO/Catatan Najwa via tribunnews.com)

Najwa Shihab dan Maudy Ayunda adalah dua nama yang belakangan menjadi icon perempuan pendobrak patriarki di Indonesia. Najwa Shihab, putri ulama besar Indonesia tampil sebagai jurnalis perempuan yang disegani politisi yang biasanya didominasi  laki-laki. 

Ia juga percaya diri menampilkan personality-nya, tanpa gamis dan penutup kepala, tanpa khawatir akan pandangan publik mengingat latar belakang keluarganya.

Maudy Ayunda, diawal kemunculannya dikenal sebagai public figure. Ia berhasil tampil sebagai artis yang  mematahkan stigma public figure hanya modal tampang. 

Di puncak karirnya, Maudy justru memilih tenggelam dalam studinya. Ia mendapatkan gelar sarjana untuk jurusan Philosophy, Politics, and Economic (PPE)di Oxford University, yang kabarnya jurusan sulit dengan saringan masuk yang ketat. 

Sempat heboh saat ia datang membagikan kabar galau saat hendak melanjutkan program magister, karena diwaktu bersamaan diterima di 2 kampus ternama, Harvard dan Stanford.

Diam mengejar prestasi, bergerak menggelar resepsi. Demikianlah kalimat popular dikalangan netizen belakangan ini untuk menggambarkan seorang Maudy Ayunda. Se Indonesia heboh karena secara tiba-tiba Maudy melepas masa lajangnya. 

Tak tanggung-tanggung, sang suami pun bukan kaleng-kaleng. Setidaknya, sesama jebolan Harvard, sudah dapat diramalkan seperti apa keturunannya kelak. Inilah generasi emas yang sesungguhnya.

Najwa dan Maudy, bukannya tak pernah jadi sasaran nyinyiran netizen. Najwa pernah dihujat gara-gara tak bisa memasak dan dianggap menyalahin kodratnya sebagai perempuan. 

Maudy pun pernah dinyinyiri, buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau ujungnya ke dapur juga. Yang anehnya, nyinyiran itu ternyata juga datang dari kalangan perempuan. Sungguh berat menjadi perempuan, bukan hanya patriarki yang menjadi penghalang, namun sesama perempuan pun saling menghakimi.

Pada akhirnya, satu hal yang harus kita terima bersama, terlahir sebagai perempuan itu ternyata nggak mudah. Perempuan akan selalu dihadapkan pada pilihan: menjadi liyan dengan melawan arus atau pilih aman mengikuti arus. 

Perempuan-perempuan versi Najwa dan Maudy memang akan selalu lahir disetiap masanya. Namun tidak sedikit pula yang tetap memilih mengikuti arus, menjalani kehidupan sebagaimana yang "dikodratkan" terhadap perempuan.

Pembicaraan mengenai perempuan, secara global dan khususnya di Indonesia masih seputar kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Namun kerapkali, pembahasan ini hanya sebatas di ruang-ruang diskusi. 

Maka tak heran perempuan buruh pabrik atau pekerja di perkebunan, pedagang sayur di pasar, ibu rumah tangga, bahkan gadis muda calon pekerja kerah putih tak paham apa itu kesetaraan gender. Bicara pemberdayaan perempuan, biasanya berujung pada UMKM, atau hal-hal yang sifatnya dorongan financial dan ekonomi keluarga.

Sejatinya, ada gagasan yang lebih mendasar yang perlu dimiliki oleh perempuan, yaitu menjalani hidup dengan kesadaran akan pilihan hidupnya. 

Saat perempuan menyadari bahwa mereka memiliki hak untuk menentukan "cara menjalani hidup" tanpa perlu khawatir stigma dari lingkungan sosial, sejatinya gender bukan jadi persoalan lagi.

Memilih mengejar pendidikan ketimbang menikah, memilih menjadi ibu rumah tangga atau perempuan bekerja, bahkan menikah atau tidak menikah, punya anak atau tidak punya anak dan pilihan-pilihan lainnya. 

Kita sudah terlalu lama menetapkan standar bagi kodrat seorang perempuan : pendidikan secukupnya, menikah sebelum usia 30, punya anak 2-4, keluarga Bahagia. 

Alhasil, saat seorang perempuan masih melajang di usia kepala 3, maka berbagai stigma melekat pada dirinya. Saat seorang perempuan masih belum hamil setelah menikah, maka berbagai pertanyaan ditujukan pada dirinya. 

Pada akhirnya, menikah dan mengurus anak "dikodratkan" menjadi tujuan hidup perempuan. Zaman memang telah berubah, teknologi dan digitalisasi, tapi tidak dengan perempuan. 

Sampai kapanpun perempuan tidak akan pernah menjalani hidup yang dipilih atas kesadaran sendiri tanpa khawatir menjadi liyan di tengah-tengah masyarakat.

Kabar gembira datang di awal tahun ini. Bahwa tahun ini, hingga  Desember 2022, Indonesia menjabat sebagai Presidensi G20. Kesetaraan gender pun menjadi salah satu isu prioritas yang akan diusung. 

Meski secara politis, G20 tak ubahnya sebagai tempat ngobrol para elitis, namun harapan tak boleh putus. Bagaimanapun, kita berharap G20 dapat menjadi kesempatan dan masa depan bagi 133 juta perempuan Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun