Mohon tunggu...
Nila Farchatul Kamilah
Nila Farchatul Kamilah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ideologi Pancasila dan G30S PKI

10 Oktober 2022   00:19 Diperbarui: 10 Oktober 2022   00:50 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Peristiwa Gerakan 30 September 1965, Partai Komunis Indonesia (PKI) atau yang biasa dikenal dengan G 30 S/PKI yaitu tentang pengkhianatan yang cukup besar terhadap bangsa Indonesia. Komunisme ini masih menjadi ancaman bagi negara Pancasila. Karenanya, pada level simbolis ini, seharusnya peringatan G 30 S/PKI atau Kesaktian Pancasila tetap saja sama-sama penting untuk membangkitkan suatu kesadaran kolektif bagi bangsa Indonesia terhadap ancaman atas kedaulatan negara. G 30 S PKI yaitu upaya kudeta yang dilakukan oleh PKI untuk mengganti idiologi Pancasila dengan komunisme. 

Jika komunisme adalah anti agama, maka mereka bukan hanya anti Islam, tetapi juga menolak untuk semua agama. Sebab menjadi ancaman, maka baik pemerintah dan masyarakat seharusnya bersatu untuk terus secara istiqamah melakukan revitalisasi idiologi Pancasila. Perlu dirumuskan dengan cara yang paling sesuai, cara dan pola baru untuk memahamkan suatu ideologi Pancasila, menghayatinya, mempraktikkannya, dan meneladankannya kepada bangsa Indonesia yang terus berganti generasi dari waktu ke waktu. Bukan dengan indoktrinasi, pemaksaan ataupun sebuah ancaman, melainkan melalui proses ilmiyah, kultural, dan penyadaran sistematis yang menancap dalam suatu sanubari warga negara Indonesia.

Adapun hal lain yang juga tidak kalah penting untuk mendapatkan perhatian kolektif bangsa Indonesia ini yaitu berusaha secara terus-menerus untuk meningkatkan suatu kesadaran dan untuk terus mengingatkan sejarah terbentuknya suatu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sekaligus untuk menyadari betul tentang apa jati diri bangsa Indonesia. 

Kita sebenarnya sadar, bahwa bangsa ini adalah bangsa yang sangat besar. Sudah cukup banyak ulasan yang menggambarkan kebesaran bangsa Indonesia, yang bahkan dibandingkan dengan negara-negara besar dunia, baik dari segi luas wilayah, lautan, pulau, serta kebesaran. Sebagai bangsa yang cukup besar, Indonesia dibangunkan di atas cita-cita dan konsepsi cukup besar yang sangat mampu untuk menaungi suatu kebesarannya. Bangsa ini dibangunkan langsung oleh para manusia besar Indonesia. 

Dengan adanya modalitas tersebut, setiap bangsa di Indonesia sudah sangat semestinya untuk selalu berpikir dan berjiwa yang cukup besar, menyadari realitas suatu kebesarannya, sekaligus menjawab dari berbagai tantangannya ke depan. Sebagai bangsa yang besar, kita tidak boleh terseret, terombang-ambing, apalagi terbelah dengan cara yang dilakukan oleh bangsa lain. Cukup kita menggali konsepsi bangsa ini yang sudah termanifestasi dalam platform dan konsepsi kebangsaan kita: Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Bung Karno pernah berkata "Tidak ada dua bangsa yang cara berjuangnya sama. Setiap bangsa mempunyai cara berjuang nya sendiri, mempunyai karakteristik nya sendiri. Oleh sebab itu, pada hakikatnya bangsa Indonesia ini merupakan bangsa yang individu dan mempunyai kepribadian sendiri. Kepribadian itu terwujud dalam berbagai hal, baik dalam segi kebudayaannya, dalam segi perekonomiannya, ataupun dalam wataknya, dan lain-lain sebagainya.

Apa kepribadian bangsa Indonesia dan karakteristik yang dimaksud oleh Bung Karno? 

Jawabannya adalah Pancasila. Pancasila memberikan sebuah warna (corak) sebagai tanda identitas karakter sebagai sebuah bangsa. Maka, jika ada pentanyaan apa itu karakter khusus/khas bangsa Indonesia?

Jawabnya adalah Pancasila. Ada Lima sila dalam Pancasila yang dapat diambil dan disarikan dari beberapa nilai luhur yang sudah ada dan sudah berkembang dalam diri bangsa Indonesia itu sendiri.

Pancasila adalah visi dari peradaban Indonesia: yang mana manusia bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, serta mampu mengembangkan persatuan, penuh kebijaksanaan dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat di Indonesia.

Pancasila yaitu sebuah titik temu (common denominator) yang menyatukan sebuah Negara keindonesiaan. Pancasila yaitu sebagai falsafah dan juga sebagai norma dasar (ground norm) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (philosophisce grondslag). Konsekuensinya, Pancasila menjadi dasar negara dan sumber dari segala sumber hukum dalam bernegara.

Tugas kita untuk saat ini yaitu bisa dengan cara menanamkan nilai nilai Pancasila kepada masyarakat secara terus-menerus, terutama pada lembaga pendidikan dan kepada kaum muda Indonesia. Pemerintah juga harus melibatkan suatu tokoh masyarakat dan suatu tokoh agama guna untuk memberi pendidikan bahkan membiba akhlak yang baik untuk setiap warga negara Indonesia. Dengan penanaman nilai ini, maka akan memberi banyak pemahaman yang cukup baik akan pentingnya meningkatkan kewaspadaan nasional terhadap bahaya komunisme, demi terwujudnya ketahanan nasional berdasarkan Pancasila sebagai ideologi berbangsa dan bernegara.

Dan hasilnya, kita harus bisa mendatangkan Pancasila dalam ruang nyata di kewarganegaraan, kebangsaan dan kemanusiaan yang ada pada suatu kehidupan Indonesia. Wujud dari subuah kehadiran itu sesungguhnya ialah pembelaanmelalui kebijakan, sentuhan, dan intervensi lain yang adil dan manusiawi yang dilakukan secara nyata bahkan mampu mengubahnya menuju sebuah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 

Khittah Pancasila

Hari ini, kita perlu memantabkan kembali apa yang menjadi "khittah Pancasila". Sejak Pancasila lahir, pancasila memiliki khittahnya. Khittah tersebut sangat lah penting, sebab khittah tersebit merupakan tonggak garis suatu perjuangan dan landasan dasar Pancasila yang ada. Khittah Pancasila, berada dalam nilai dan prinsip yang sudah melekat di dalam sila-sila Pancasila. Yakni, ketuhanan (al-ilahiyah), kemanusiaan (al-basyariyyah), persatuan (al-ukhuwwah), kerakyatan (ar-raiyyah), dan keadilan sosial (al-'adalah al-ijtimaiyyah). Lima nilai dan prinsip dasar dasar ini merupakan sebuah satu keutuhan yang tidak bisa dipisahkan. Ketuhanan yang Maha Esa, sebagai sila pertama yang memberikan sebuah nafas sekaligus ruh untuk semua sila-sila Pancasila. 

Sila ketuhanan ini sudah tampak sangat kuat kehendak para pendiri suatu bangsa yang menjadikan suatu Negara Pancasila sebagai negara yang sangat religius (religious nation state). Dengan pemahaman tersebut, kita tidak bisa menganut suatu paham sekuler yang sangat ekstrim bahkan memisahkan "agama" dan "negara" dan berpretensi menyudutkan peran suatu agama ke ruang privat/ sebuah komunitas. Meski kita bukan negara agama, dalam arti hanya satu agama yang sudah diakui menjadi dasar suatu negara Indonesia. Menjadi religious nation state artinya yaitu negara melindungi dan mengembangkan dalam kehidupan beragama. Lebih dari itu agama tersebut juga didorong untuk memainkan peran publik yang berkaitan dengan penguatan norma dan etika sosial.

Dalam sebuah praksis kehidupan berbangsa dan bernegara, nilai ketuhanan (nilai agama/religiusitas) harus dijadikan sebagai sumber etika dan spiritualitas. Nilai-nilai yang bersifat vertikal-transendental ini menjadi fundamen etika dalam sebuah kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga sudah sangat jelas bahwa kebangsaan kita merupakan suatu kebangsaan yang berketuhanan.

Konstitusi, UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa negara Indonesia ini berdiri atas dasar ketuhanan. Hal tersebut sudah dinyatakan pada Pasal 29 Ayat (1), "Negara tersebut juga berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa." Lalu tegas disebut dalam Ayat (2)-nya, "Negara menjamin kemerdekaan pada setiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan melaksanakan ibadah menurut agama dan kepercayaannya tersebut ."

Oleh karena itu, di negara ini tidak boleh ada sikap dan perbuatan yang anti-Ketuhanan dan antikeagamaan. Tidak boleh ada sikap dan perbuatan yang menghinakan dan menistakan agama. Sama halnya tidak boleh ada sikap dan perbuatan yang mengerdilkan peran agama. Aktualisasi keagamaan bukan saja diberikan ruang, akan tetapi didorong secara terus menerus untuk menjadi basis moralitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, segala upaya sekularisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sungguh tidak memiliki tempat di Indonesia dan bertentangan dengan falsafah Pancasila dan UUD 1945.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun