Pandemi COVID – 19 di Indonesia berdampak pada berbagai aspek kehidupan, salah satunya berdampak pada aspek peribadatan umat beragama termasuk umat Islam. Pandemi COVID – 19 dalam aspek peribadatan umat Islam berdampak pula pada sektor pelaksaan kurban yang diharuskan bertemu dan berkerumun dengan orang lain, sehingga kurban online menjadi pilihan para umat Islam yang dinilai paling efektif. Namun, apakah kurban secara online dinilai sah dalam Islam?
Kurban online sebenarnya tidak jauh berbeda dengan berkurban secara langsung, di mana pelaksaannya diwakilkan kepada panitia kurban yang terpercaya dengan akad wakalah, yaitu akad mewakilkan suatu urusan kepada pihak lain, baik tanpa upah maupun dengan upah (ujrah) tertentu kepada pihak wakil (wakalah bil ujrah).
Diperbolehkannya wakalah dalam penyembelihan kurban terdapat dalam salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Muslim no 1218. Hadits ini menerangkan bahwa Rasulullah SAW telah menyembelih 63 hewan kurban (milik beliau) dengan tangan beliau sendiri, kemudian memberikan kepada Ali lalu Ali menyembelih hewan kurban sisanya.
Adapun mengenai pendistribusian daging kurban dan upah yang diberikan kepada yang mewakilkan (jagal) terdapat dalam hadits berikut.
“Rasulullah SAW memerintahkanku untuk mengurusi unta-unta kurban beliau. Aku mensedekahkan daging, kulit, dan jilalnya (kulit yang ditaruh pada punggung unta untuk melindungi dari dingin). Aku tidak memberi sesuatu pun dari hasil sembelihan qurban kepada tukang jagal. Beliau bersabda, “Kami akan memberi upah kepada tukang jagal dari uang kami sendiri”. (HR. Muslim).
Dari kedua hadits di atas, dapat diketahui bahwa Rasululllah memberikan kuasa kepada sayyidina Ali ra untuk mengurus kurban beliau (mewakilkan). Dengan pesan mendistribusikan daging kepada fakir miskin sebagai sedekah dan tidak memberikan tukang jagal upah dari daging sembelihan.
Menurut KH. M. Shiddiq Al Jawi, ada dua syarat agar tidak terjadi pelanggaran syariah pada akad wakalah kurban secara online.
Pertama, penyelenggara kurban online haruslah pihak yang amanah (dapat dipercaya), supaya tidak terjadi penipuan atau penggelapan. Misalnya uang yang sudah ditransfer ternyata malah dilarikan secara tidak bertanggung jawab.
Kedua, penyelenggara kurban online harus memahami hukum-hukum syara’ seputar kurban, supaya tidak terjadi penyimpangan syariah. Misalnya, membeli hewan yang tidak memenuhi syarat, membagikan sembelihan kurban secara tidak syar’i (haram), menjual kulit kurban, atau menukar kulit kurban dengan daging, dan sebagainya.
Lalu apa sisi positif dan negatif dari adanya kurban online?
Sisi positif dari adanya kurban online yaitu :