Toba, sebuah gunung api raksasa (supervolcano), yang menurut para ahli, mengalami letusan dahsyat sekitar 74.000 tahun, mengguncang dunia. Letusan tersebut dianggap sebagai letusan mahadahsyat yang pernah terjadi di muka bumi dalam kurun dua juta tahun terakhir. Aktivitas tektonik Sesar Besar Sumatera penyebab letusan tersebut, menyisakan sebuah kaldera-kawah raksasa gunung api- yang kemudian membentuk Danau Toba, danau terbesar di Indonesia.
Kawasan Danau Toba, atau yang sering dikenal sebagai Kaldera Toba, sejak Juli tahun 2020 ditetapkan sebagai taman bumi global (global geopark) oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO). Penetapan ini diharapkan dapat mendorong seluruh potensi di Kaldera Toba untuk bermanfaat bagi sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat lokal yang berwawasan pembangunan berkelanjutan.
Salah satu arah pengembangan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat adalah swasembada pangan yang berkelanjutan. Potensi unggulan pertanian dan perkebunan di Kawasan Danau Toba cukup menjanjikan. Potensi ini pun mendukung arah pengembangan Kawasan Danau Toba sebagai salah satu destinasi utama pariwisata di Indonesia.
Sesuai dengan kebijakan penataan ruang Kawasan Danau Toba (KDT) yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2014, dalam pasal 7 (tujuh) diatur, huruf f: pemertahanan kawasan pertanian tanaman pangan untuk ketahanan pangan, huruf g: pengendalian kawasan budi daya peternakan, hortikultura, dan perkebunan berbasis masyarakat dan ramah lingkungan. Serta lebih lanjut pada huruf h: perwujudan kerja sama pengelolaan dan pemeliharaan kualitas lingkungan hidup, pemasaran produksi kawasan budi daya, dan peningkatan pelayanan prasarana dan sarana antar wilayah.
Dengan demikian, inisiatif pemerintah pusat untuk mengembangkan lumbung pangan (food estate) di Kawasan Danau Toba, sejalan dengan Perpres tersebut, akan menjadi stimulus bagi pemerintah daerah dan masyarakat di sekitar KDT bekerjasama dalam pengelolaan dan pemeliharaannya. Wujud kerjasama tersebut akan semakin berdampak luas bila melibatkan dunia pendidikan (akademik) dan dunia usaha dunia industri (DUDI).
**
Kondisi dunia masa depan akan dipengaruhi oleh kebutuhan pangan, air, dan energi. Secara khusus, adanya tantangan dalam memenuhi kebutuhan pangan yang semakin meningkat dikaitkan dengan lahan pangan yang semakin berkurang dari waktu ke waktu. Di Indonesia sendiri, hal ini menyebabkan tingginya impor bahan pangan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Menurut data impor pangan, setiap tahun biaya yang dikeluarkan mencapai miliaran dolar amerika. Contohnya, impor gandum mencapai 10,8 juta ton per tahun dengan biaya sekitar 2,57 miliar dolar amerika, impor padi mencapai 1,8 juta ton per tahun dengan biaya mencapai hampir 1 miliar dolar amerika.
Pertimbangan impor tersebut didukung dengan gap yang besar antara harga impor dibandingkan dengan harga domestik. Ada margin sebesar 63% hingga 694ri harga bahan pangan yang diimpor dibandingkan dengan harga bahan pangan yang diproduksi secara domestik.
Belum lagi melihat bahwa setiap bahan pangan tersebut memiliki nilai satuan yang tinggi. Contoh, nilai satuan gandum sebesar 3.692 rupiah per kilogram, bandingkan dengan jenis komoditas hortikulura seperti bawang putih yang memiliki nilai satuan sebesar 12.325 rupiah per kilogram, apel 31.569 rupiah per kilogram dan anggur memiliki nilai satuan 44.890 rupiah per kilogram. Secara domestik, nilai ekonomis dari budidaya tanaman hortikultura tersebut mencapai 8.5 triliun pendapatan bersih untuk petani.
Potensi ini tentu menjadi pertimbangan untuk mewujudkan program lumbung pangan nasional dengan melakukan perluasan lahan pertanian pangan. Sejauh ini rencana pengembangan food estate akan memanfaatkan lahan masyarakat dan konversi dari hutan produksi untuk dijadikan lahan budidaya pangan berupa kawasan hutan dengan tujuan khusus (KHDTK) dan kawasan perhutanan sosial. Lahan konversi tersebut akan disediakan oleh pemerintah daerah bekerjasama dengan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.