Mohon tunggu...
Niko Simamora
Niko Simamora Mohon Tunggu... Pengajar - Menulis

@nikomamora~\r\nnikosimamora.wordpress.com~\r\nniko_smora@live.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Naik Pesawat dengan Informasi Seadanya, Memang Bisa?

30 Maret 2018   16:40 Diperbarui: 30 Maret 2018   16:48 591
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejak menjamurnya penerbangan murah (low cost carrier), naik pesawat menjadi pilihan banyak orang dalam bepergian terutama untuk jarak jauh. Sejak saat itu, penerbangan menjadi transportasi yang paling unggul dibanding transportasi lainnya. Dengan kecepatan tinggi dan jangkauan wilayah yang jauh dengan waktu yang paling cepat, semua orang dapat terbang dengan mudah.

Dengan keunggulan tersebut, industri penerbangan tentu harus melakukan banyak strategi dalam memberikan layanan kepada penggunanya. Bila dilihat secara keseluruhan, penerbangan meliputi struktur pesawat yang berhubungan dengan mesin, desain pesawat sampai desain kenyamanan interior. Hingga operasional pesawat baik ketika di darat maupun saat terbang.

Tentu bila diurut dari awal sampai akhir, proses tersebut melibatkan banyak pihak. Namun, ketika para pengusaha menawarkan harga yang terjangkau kepada konsumen, ada satu hal yang tidak boleh

diabaikan. KESELAMATAN.

Nah, di Indonesia, perhatian tentang keselamatan penerbangan menjadi concern utama untuk menjaga citra transportasi udara. Menurut info yang disampaikan Dirjen Perhubungan Udara, Dr. Ir. Agus Santoso, MSc, sejak tahun 2017 tidak ada lagi kecelakaan yang menimbulkan korban jiwa di Indonesia. Ini menjadi bukti bahwa perhatian terhadap keselamatan penerbangan sudah menjadi fokus utama.

Bahkan, menurut Global Aviation Safety Plan (GASP), Indonesia sudah mencapai angka 80 dengan standar yang ditetapkan minimal 60. Dengan demikian, faktor keselamatan penerbangan Indonesia yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Udara sudah semakin baik. Saat ini, Indonesia sudah mengajukan pencabutan izin larangan terbang maskapai Indonesia di Uni Eropa.

Terbang memang semakin mudah, setidaknya itu yang saya rasakan ketika pertama kali menggunakan transportasi udara. Pengalaman pertama penerbangan saya, ketika masih duduk di sekolah menengah atas. Ketika itu, saya menyusul keluarga yang sudah berangkat duluan untuk liburan. Saya berangkat belakangan karena harus mengurus urusan sekolah.

Bila anda bayangkan, dengan umur belasan tahun, yang kebanyakan menghabiskan hidup di penjara dalam sorga (baca: asrama) yang berlokasi di kaki perbukitan daerah Toba Samosir, saya harus berangkat seorang diri dari Medan menuju Jakarta. Bekalnya hanya perintah melalui SMS (short message service) tentang urutan perjalanan.

Untungnya, petugas pelayanan di bandara sangat ramah dan menolong, sepertinya mereka pun rajin menabung (hehe). Ketika pertama kali menginjakkan kaki di dalam pesawat, saya diarahkan ke tempat yang penumpangnya cuma dua orang. Wah baik sekali pramugari ini, pikir saya ketika itu.

Begitu saya duduk, saya pun langsung ditemui secara langsung oleh pramugari. Saya memperhatikan sekitar, hanya area kami yang dikunjungi pramugari. Eh, ternyata saya duduk dekat jendela darurat, dan kami di briefing untuk bisa membantu membuka jendela darurat bila terjadi kondisi yang darurat pula.

Setelah itu, pramugari datang dan membuka meja di depan tempat duduk saya. Saya pikir, pramugari ini ingin berbuat apa lagi kepada saya. Ternyata mereka akan memperagakan prosedur keselamatan selama di pesawat. Saya memperhatikan mereka sejak awal hingga akhir dan juga segala perintah yang disampaikan melalui pengeras suara. Ritual itu terus saya terapkan ketika akan bepergian dengan pesawat, penting sekali untuk terus memahami pentingnya keselamatan dan prosedur bila terjadi darurat agar tidak panik.

Keselamatan penerbangan adalah tanggung jawab bersama (sumber: twitter @djpu151)
Keselamatan penerbangan adalah tanggung jawab bersama (sumber: twitter @djpu151)
Ketika itu, saya sudah merasakan terbang dengan mudah. Tidak ada kendala sama sekali. Ketika sudah mencapai ketinggian yang pas, mata mengantuk, dan tidur di udara itu memang sangat nyaman. Jangan lupa dilap kalau basah-basah ya. Upsss.

Pengumuman tiba di bandara tujuan disampaikan oleh awak kabin. Semua penumpang terlihat menyudahi mimpi indahnya. Saya pun coba curi-curi pandang melihat ke luar jendela. Biru, entah itu laut atau langit. Perasaan yang timbul adalah penasaran bagaimana pendaratan nantinya.

Cukup lama waktu yang kamu tempuh untuk mendarat, ada beberapa kali kami merasakan penumpang berputar-putar di udara. Manuver yang dilakukan membuat kami sesekali bisa melihat Jakarta lalu beberapa saat kemudian melihat langit. Itu terjadi sekitar satu jam.

Belakangan baru saya tahu bahwa apa yang dilakukan pesawat tersebut adalah menunggu antrian mendarat di landasan. Lalulintas penerbangan di Cengkareng yang begitu padat membuat jadwal pendaratan bisa berubah bila ada pesawat yang mendarat maupun mengudara tidak sesuai slot

waktu yang sudah ditentukan.

Slot waktu yang begitu padat dibandingkan dengan kapasitas bandara saat itu memang tidak seimbang. Menurut pengamat penerbangan, Alvin Lie, kapasitas penumpang di Bandara Soekarno-Hatta sekitar dua puluh juta penumpang per tahun, namun yang kenyataannya sudah mencapai enam puluh juta penumpang per tahun. Dengan adanya pengembangan terminal 3, diharapkan kapasitas bandara meningkat hingga bisa menampung enam puluh juta penumpang. Dan ke depan, bisa dipikirkan untuk pengembangan terminal 4.

Pengalaman pertama yang menghantar saya ke Jakarta memang sangat berkesan. Dengan bekal informasi terbatas dan bantuan petugas bandara dan maskapai, saya bisa bertemu dengan keluarga saya.

Nah, ketika kembali dari Jakarta, kami mengalami pengalaman yang unik juga. Ketika itu, saya dan ayah saya pulang duluan ke Medan karena saya harus masuk sekolah dan ayah saya harus masuk kerja. Kami berangkat dari rumah saudara sekitar dua jam sebelum waktu boarding. Namun, apa hendak dikata, lalu lintas Jakarta yang tidak bisa ditebak membuat kami ketinggalan pesawat.

Ini menjadi pelajaran berharga bagi saya, sehingga setelahnya, saya selalu menyediakan waktu yang cukup sebelum boarding. Pernah satu kali, saya melakukan perjalanan namun pesawat malah terbang duluan sebelum waktu boarding, pengalaman ini pernah saya tulis dalam surat pembaca di salah satu koran lokal. Namun hingga kini tidak ada respon dari maskapai,  belakangan info yang saya dapatkan bahwa dipercepatnya keberangkatan pesawat berhubung digunakan oleh VIP untuk kebutuhan mendesak. Saya tidak mengerti tentang info yang seperti, namun kejadian yang sudah berlalu tersebut membuat saya selalu menyediakan waktu sebelum jam keberangkatan.

Menurut Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, ingat langkah 3-2-1 ketika akan berangkat menggunakan pesawat udara. 3 jam sebelum waktu keberangkatan sudah berada di bandara dan melakukan pemeriksaan di security check point, 2 jam sebelum keberangkatan sudah melakukan check-in, dan 1 jam sebelum sebelum keberangkatan sudah berada di ruang tunggu dekat dengan gate yang sesuai  boarding pass.

Langkah 3-2-1 sebelum terbang (sumber: instagram @djpu151)
Langkah 3-2-1 sebelum terbang (sumber: instagram @djpu151)
Kini, peraturan keselamatan penerbangan semakin diperketat. Pemeriksaan di security check point oleh petugas semakin diperketat. Demi keamanan dan kenyamanan terbang, saya kira sangat tepat untuk selalu mengikuti peraturan yang berlaku dan sudah ditetapkan.

Ada anekdot yang menarik ketika Arbain Rambey menyampaikan paparannya, bahwa orang Indonesia kerap kali menanyakan tentang sesuatu aturan. Ketika tidak ada aturan atau belum diatur, kita takut untuk melakukan, namun ketika sudah ada aturan, dengan mantap kita seringkali melanggar. Ini pun harus menjadi concernbersama, bahwa peraturan keselamatan yang diatur sudah melalui kajian yang mendalam, kita tinggal melaksanakan. Ini adalah aspek etika yang harus dipahami oleh setiap penumpang. Bila pun boleh mengadopsi semangat standar keselamatan kerja di industri, bahwa pelaksanaan standar keselamatan dan kesehatan kerja (K3) turut membangun budaya pribadi yang berimplikasi kepada budaya bangsa. Tidak ada istilah lebay ketika kita memperhatikan dan menerapkan standar keselamatan, justru itulah yang seharusnya.

Di masa depan, teknologi penerbangan akan semakin berkembang, tentu standar keselamatan pun bisa berkembang disesuaikan dengan kebutuhan. Sebagai pengguna jasa penerbangan, penumpang harus bisa terus menyesuaikan dengan peraturan yang selalu diperbarui. Kebutuhan hari ini akan berbeda dengan kebutuhan yang akan datang. Ingat! Demi selamat aman dan nyaman selamanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun