Mohon tunggu...
Niko Simamora
Niko Simamora Mohon Tunggu... Pengajar - Menulis

@nikomamora~\r\nnikosimamora.wordpress.com~\r\nniko_smora@live.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Salah Kaprah dalam Senioritas

13 Januari 2017   10:10 Diperbarui: 13 Januari 2017   10:17 520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berita tentang kematian Amirulloh Adityas, siswa tingkat satu Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Jakarta akibat dikeroyok oleh seniornya menjadi catatan buruk yang kembali menghiasi rekam jejak sekolah kedinasan. Pendidikan dengan menekankan disiplin ala militer dan hubungan senior-junior kembali disalahgunakan. Para siswa sekolah kedinasan yang kerap disebut taruna, seringkali justru mengabaikan makna yang terkandung dalam sebutan tersebut,  sebagai calon perwira yang memiliki jiwa kepahlawanan.

Apa yang salah kaprah dengan senioritas?

Pertanyaan ini mengingatkan saya ketika pernah mengikuti pendidikan di asrama yang menekankan senioritas. Sejak awal masuk, ditekankan hukum senior, pertama: senior tidak pernah salah dan kedua: bila senior salah, kembali ke hukum pertama. Tidak terlalu jelas asal muasal hukum senior ini, namun sangat menarik karena tumbuh subur turun-temurun. Ketika senior mengucapkan hukum itu, si junior harus turut semua perintahnya, bila tidak, si junior akan mendapat konsekuensi sebagai bahasa halus dari hukuman.

Ketika junior mengalami masa penyambutan oleh senior (= masa orientasi), tertanam dibenaknya akan nyamannya posisi sebagai senior. Dengan seperti itu, ketika junior beranjak menjadi senior, ada semacam balas dendam yang dilampiaskan kepada junior berikutnya. Efeknya membuat junior akan menghormati senior. Pola ini sangat umum di sekolah-sekolah kedinasan maupun asrama.

Ada junior yang ketika beranjak senior memiliki nurani,sehingga memiliki pandangan bahwa senior harus lebih mengutamakan teladan. Namun, alih-alih memberi teladan, kebanyakan senior merasa memiliki kekuasaan atas juniornya.

Penyalahgunaan kekuasaan senior atas junior yang kerapkali berujung adanya korban. Bahkan sering juga, alasan senior melakukan tindakan atas junior hanya berdasarkan ketidaksukaan terhadap junior secara pribadi alias subjektifitas, bukan kepada kesalahan junior yang berkaitan dengan aturan-aturan yang ditetapkan oleh institusi pendidikan. Tindakan atas junior pun dilakukan di luar jam pengawasan, misalnya jam istirahat malam, jam pesiar, dan sebagainya.

Melihat salah kaprah tersebut, sudah seharusnya institusi pendidikan mengevaluasi sistem pendidikannya. Interaksi antara senior dan junior harus dimaknai ulang. Salah satu usulan yang bisa diterapkan adalah dengan menerapkan pola tindakan yang mengharuskan senior & junior sama-sama menanggung konsekuensi atas kesalahan junior. Contohnya: dalam situasi apel, ada junior yang terlambat, konsekuensi yang diperoleh adalah senior/pemimpin apel mengajak si junior untuk sama-sama melakukan gerakan push-up. Dengan demikian, senior memiliki tanggung jawab untuk memberikan teladan kepada junior, sementara junior akan memilik kesadaran untuk tidak melakukan kesalahan karena akan memberikan konsekuensi kepada seniornya. Pola ini akan membangun senior-senior yang lebih bertanggung jawab.

Selain itu, interaksi senior-junior dalam ruang tertutup harus dibatasi. Senior hanya bisa memberikan tindakan dalam ruang terbuka dan bukan merupakan sentuhan fisik, melainkan pembinaan fisik. Dengan menekankan tanggung jawab terhadap senior, interaksi senior-junior diharapkan semakin baik dan bertanggung jawab. Sehingga hukum senior bisa diubah menjadi, pertama: senior bertanggung jawab terhadap junior, kedua: bila junior salah, kembali ke hukum pertama. Dengan demikian senior kembali ke maknanya sebagai seorang yang lebih matang dalam pengalaman dan kemampuan.

Menilik kembali kronologi yang berujung pada kematian Amirullah Adityas Putra (18) akibat penganiayaan oleh senior-seniornya: WH (20), I(21), AR(19) dan J (19) pada Selasa (10/1) di Gedung Dormitory 4 lantai 2 kamar M205 dan ada lima korban lain yang diduga juga turut dianiaya oleh pelaku lain seharusnya menjadi evaluasi pihak STIP. Keputusan Menteri Perhubungan untuk mencopot  Kepala STIP semoga dapat mengubah sistem pendidikan di sekolah calon pelaut tersebut. Proses hukum terhadap pelaku tetap dilakukan demi memberikan efek jera kepada senior-senior yang tidak bertanggung jawab. Dan keluarga korban tetap tabah dan kuat melihat kepergian anak tercinta. Semoga tidak ada korban lagi akibat salah kaprah para senior-senior yang tidak bertanggung jawab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun