Mohon tunggu...
Niko Simamora
Niko Simamora Mohon Tunggu... Pengajar - Menulis

@nikomamora~\r\nnikosimamora.wordpress.com~\r\nniko_smora@live.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ada Apa dengan Museum Geologi? (AADM)

24 Oktober 2016   18:01 Diperbarui: 24 Oktober 2016   18:10 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berpose di depan fosil di pintu masuk Museum Geologi (foto: Niko Simamora)

Museum Geologi Bandung menjadi sebuah monumen sejarah yang menyajikan kisah menarik tentang dunia geologi di Indonesia. Museum ini dikelola oleh Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, berlokasi di Jalan Diponegoro Nomor 57, Bandung. Museum ini memuat sejarah tentang penyelidikan geologi Indonesia sejak tahun 1850-an. Ketika itu, lembaga yang mengadakan penyelidikan geologi disebut ‘Dienst van het Mijnwezen”. Adalah dua tokoh yang dikenal sebagai pejuang untuk mempertahankan keberadaan dokumen-dokumen penyelidikan geologi tersebut, mereka adalah Arie Frederic Lasut dan Sunu Sumosusastro.

Arie Frederic Lasut ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional atas perjuangan dan jasa-jasanya dalam bidang geologi dan pertambangan semasa penjajahan. Beliau adalah putra Kapataran, Minahasa, Sulawesi Utara, lahir pada tanggal 6 Juli 1918, wafat pada usia 30 tahun di Yogyakarta, 7 Mei 1949. Arie Frederic Lasut menjabat sebagai Kepala Dinas Pertambangan RI yang pertama, dan Sunu Sumosusastro adalah wakilnya. Dalam masa mereka, Jawatan Pertambangan dan Geologi berpindah-pindah dari Bandung, Tasikmalaya, dan Magelang.

Museum Geologi yang beroperasi hingga saat ini diresmikan pada tanggal 16 Mei 1929 bertepatan dengan Kongres Ilmu Pengetahuan Pasifik ke IV di Institut Teknologi Bandung. Hingga sekarang, museum ini memiliki ratusan ribu koleksi batuan, mineral, dan koleksi fosil. Koleksi-koleksi tersebut disimpan dalam ruang koleksi yang bisa dilihat oleh pengunjung. Selain ruang pameran koleksi, ada juga ruang peragaan yang terdiri dari empat ruangan. 

Tema yang disajikan tiap ruangan berbeda-beda. Ada ruang peragaan Geologi Indonesia dan Sejarah Kehidupan di lantai satu. Ruang peragaan Sumber Daya Geologi dan Manfaat & Bencana Geologi terdapat di lantai dua. Ruang peragaan tersebut selain informatif juga memberikan pengalaman yang interaktif.

Kang Pepih dan istri sedang mencoba simulator gempa (Foto: Niko Simamora)
Kang Pepih dan istri sedang mencoba simulator gempa (Foto: Niko Simamora)
sda-580de9e16123bd6951445b63.jpg
sda-580de9e16123bd6951445b63.jpg
Museum Geologi melayani kunjungan masyarakat baik individu maupun rombongan. Jadwal kunjungan adalah Senin sampai Kamis pukul 08.00-16.00 WIB, Sabtu-Minggu pukul 08.00-14.00 WIB, sementara  Jumat dan Hari Libur Nasional Museum Geologi tidak melayani kunjungan.

Fasilitas di Museum Geologi sudah sangat baik, selain ruang pameran dan peragaan, terdapat juga auditorium dan ruang edukasi untuk pemutaran film, seminar, sosialisasi, nangkring, dan lain-lain. Tersedia juga toko cenderamata yang menyediakan aneka cenderamata berupa batuan dan fosil, buku dan CD pembelajaran, peralatan geologi seperti palu, kompas, komparato, dan sebagainya. Bila ingin mendapatkan penjelasan yang lengkap, Museum Geologi menyediakan pemandu/guide untuk keliling museum.

Berpose di depan fosil di pintu masuk Museum Geologi (foto: Niko Simamora)
Berpose di depan fosil di pintu masuk Museum Geologi (foto: Niko Simamora)
Ada apa dengan Museum Geologi?

Hari Sabtu, 15 Oktober 2016, mulai pukul 14.00, ada kurang lebih tujuh puluhan orang datang mengunjungi Museum Geologi. Dari jam operasional, Museum Geologi seharusnya sudah tutup, namun hari itu berbeda. Ternyata Kompasianer sedang nangkring untuk memperbincangkan Tambang untuk Kehidupan. Isu ini sangat sensitif mengingat, praktik pertambangan adalah sebuah usaha yang pasti akan merusak lingkungan. Wah, berani sekali mereka mengangkat tema ini.

Tunggu! Jangan emosi dulu! Berbicara tentang pertambangan adalah sesuatu yang harus dilakukan dengan pikiran bersih. Mari kita pikirkan bersama, apa jadinya kehidupan kita tanpa hasil tambang. Sendok yang kita pakai untuk makan, kendaraan yang kita gunakan untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain, perhiasan yang dipakai oleh para wanita untuk mempercantik diri, dan masih banyak lagi benda-benda yang kita pakai yang berasal dari hasil pertambangan.

Batu kecubung koleksi Museum Geologi (foto: Niko Simamora)
Batu kecubung koleksi Museum Geologi (foto: Niko Simamora)
Tambang untuk Kehidupan sebuah tema yang diangkat dalam Kompasiana Nangkring kali ini. Pembicara yang dihadirkan adalah Ir. Sukmandaru Prihatmoko, M.Sc., Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), Dr-Ing., Ir. Aryo Prawoto Wibowo, M.Eng, Ketua Pusat Riset Unggulan Kebijakan dan Keekonomian Minerba FTTM ITB, dan Kerry Yarangga, PT Freeport Indonesia.

Ketua IAGI menjelaskan bahwa di Indonesia terdapat tak kurang dari 16.000 sarjana Geologi, dan yang tergabung dalam IAGI baru sekitar 5.500. Ahli Geologi adalah tangan pertama yang melakukan penyelidikan terhadap potensi pertambangan dengan melihat potensi batuan. Ada 3 batuan dasar, yaitu batuan beku, batuan sedimen, dan batuan metamorf. Batuan tersebut terbentuk dari adanya proses terhadap magma yang terdapat di kerak bumi.

Sementara itu, Dr. Aryo Prawoto Wibowo menjelaskan proses bagaimana praktik pertambangan yang seharusnya. Setiap perusahaan harus menerapkan good mining practice yang sangat erat kaitannya dengan lingkungan. Dosen ITB ini menjelaskan bahwa tidak ada usaha pertambangan yang tidak merusak lingkungan. “Mohon maaf, saya harus bilang bahwa semua pertambangan itu harus merusak lingkungan” jelasnya,” Namun, setelah cadangan yang tersedia sudah dieksploitasi, penutupan areal bekas tambang harus benar-benar dilakukan. Beberapa daerah bekas tambang di Kalimantan berubah menjadi hijau dan dapat dimanfaatkan sebagai taman wisata. 

Pembicara dan Moderator berpose dulu:) (foto: Niko Simamora)
Pembicara dan Moderator berpose dulu:) (foto: Niko Simamora)
Salah satu areal pertambangan yang tentu sudah dikenal luas adalah tambang emas PT Freeport  Indonesia (PTFI) di Tembagapura. Kerry Yarangga, perwakilan PT Freeport Indonesia menjelaskan tentang keberadaan areal tambang emas PTFI seluas 212.960 ha yang akan dikurangi menjadi 90.360 ha. Areal ini menghasilkan ore tembaga, emas dan perak.  

Sebanyak 32.416 pekerja baik PTFI maupun kontraktor diserap dalam mengelola blok tambang ini. Komposisi pekerja tersebut ternyata sudah didominasi oleh tenaga kerja yang berasal dari Indonesia. Ada 12.085 pekerja PTFI yang terdiri dari 4.321 (36%) orang asli Papua dan 7.612 (63%) orang Non Papua, sementara pekerja asing hanya sekitar 1% atau 152 orang. Ada 6 orang asli Papua yang menjabat Vice President dan 40 orang menempati manajer dan karyawan level senior. Semua pekerja di PTFI mendapat jaminan BPJS Ketenagakerjaan & Kesehatan serta program Jaminan Hari Tua maupun Pensiun.  

Selain dari ketenagakerjaan, PTFI juga menyumbang manfaat finansial langsung bagi Indonesia  berupa pajak, royalti, dividen, bea, dll dengan total USD 16,1miliar (1992-2015) dan manfaat tak langsung berupa pembayaran gaji karyawan, pembelian dalam negeri, pengembangan masyarakat, pembangunan daerah, dan investas dalam negeri sebesar USD 32,5 miliar. Dengan total kontribusi finansial tersebut, PTFI menciptakan 238.000 kesempata kerja: 128.000 kesempatan kerja di Papua dan 110.000 kesempatan kerja di luar Papua.

Hingga saat ini, PTFI menjadi penggerak utama ekonomi di Papua sehingga mengundang migrasi dari daerah lain menuju Mimika. Dengan tingkat migrasi terbesar di Indonesia, PTFI memiliki peran untuk melakukan pengembangan di masyarakat. Fasilitas kesehatan gratis disediakan melalui 2 rumah sakit, 3 klinik umum, dan 2 klinik spesialis.

Fasilitas pendidikan terdiri dari 4 asrama, 9500 beasiswa telah diberikan, dan membangun Balai Latihan Kerja di Institut Pertambangan Newangkawi. Pengembangan ekonomi juga dilakukan kepada 5.890 kelompok usaha dengan total bantuan mencapai 192.2 miliar rupiah. Serta pengembangan infrastruktur yang dapat meminimalisasi isolasi di Papua melalui pembangunan 2 lapangan terbang perintis di Desa Tsinga dan Aroanop, juga infrastruktur fasum dan fasos serta komplek olahraga berkelas premium di Timika.

Terlihat sekali bahwa pertambangan memberikan efek berganda (multiplier effect) kepada daerah di sekitarnya. Tentu bukan tanpa tantangan ketika usaha-usaha pertambangan akan dilakukan. Indonesia sebagai negara yang terletak di kawasan cincin api ini menyimpan potensi yang sangat besar. Pertambangan sangat dibutuhkan untuk memberi nilai tambah terhadap kehidupan. Namun, harus diingat bahwa pertambangan yang bertanggung jawab harus diikuti dengan pengelolaan lingkungan yang baik juga. Tambang untuk kehidupan, kehidupan untuk semua, bukan hanya segelintir orang.

sumber:

Museum Geologi 2015

Lembar Fakta PTFI Update 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun