“...mencerdaskan kehidupan bangsa...”
Kutipan yang terdapat di Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 membuka kembali ingatan akan pemikiran para pendiri bangsa mengenai tujuan kemerdekaan. Dalam bahasa saat ini, kita mengenalnya sebagai pendidikan. Bila ditelisik kembali, ungkapan mencerdaskan kehidupan bangsa sejajar dengan tujuan lainnya - untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia-yang merupakan sebuah paket yang berkaitan. Pendidikan berkaitan erat dengan perlindungan diri, kesejahteraan umum dan usaha-usaha membangun perdamaian.
Bagaimana kondisi pendidikan saat ini? Bila harus jujur menjawab, Indonesia masih mengalami ketertinggalan di banyak aspek. Banyak aspek yang mengerucut kepada sebuah kondisi, yaitu ketidakmerataan.
Ada gap yang besar antara pendidikan di kota-kota besar dengan daerah-daerah pedalaman. Bila dikaitkan dengan hipotesis di atas, hampir bisa dipastikan bahwa perlindungan diri, kesejahteraan umum, dan upaya untuk membangun perdamaian pun tidak merata. Bahkan, tidak usah berpikir jauh-jauh untuk membandingkan antara daerah pedalaman dan kota besar, luangkan waktu sebentar ke daerah Sentul, tepat melewati kawasan Sentul City yang megah, betapa masih terlihat kesenjangan pendidikan.
Ketika saya masih menjadi mahasiswa di Bandung, saya tinggal di tengah-tengah masyarakat Bandung. Saya dan beberapa teman tinggal di sebuah rumah sederhana yang kami sewa per tahun. Rumah itu memiliki ruang tamu yang cukup luas, sehingga bisa dimanfaatkan untuk melakukan kegiatan kumpul-kumpul untuk makan bersama, nonton bareng, dan sebagainya. Ketika memasuki tahap akhir kuliah, kami memiliki waktu luang karena beban kuliah sudah berkurang, tinggal fokus untuk mengerjakan tugas akhir. Saya dan teman-teman pun memiliki ide untuk mengajar anak-anak sekolah yang sering bermain di pekarangan dekat rumah kami tinggal. Ada sekitar 6-10 orang yang ikut pada saat itu.
Apa yang kami lakukan pada saat itu adalah membantu mereka untuk semangat mengerjakan pekerjaan rumah mereka. Kebanyakan dari mereka malas mengerjakan pekerjaan rumah karena tidak ada orang yang membimbing maupun sekedar menemani mereka saat mengerjakan tugas. Ketika mereka melihat lingkungan yang sedang belajar, mereka pun serta merta ikut belajar dan biasanya potensinya lebih keluar bila dalam suasana yang santai.
Selain membantu anak-anak untuk mengerjakan tugas mereka, kami pun tidak lupa untuk memilih waktu untuk mereka bisa menunjukkan bakat mereka. Kami membuat kontes menyanyi, menari, olahraga, menggambar, dan sebagainya secara bergantian untuk melihat potensi mereka. Dengan melakukan hal seperti itu, kami bisa melihat anak yang berbakat untuk menyanyi, menari, menggambar, olahraga, bahkan mungkin jadi komedian. Bakat itu ada, namun sangat kecil peluang untuk mengembangkannya. Tanya kenapa?
Berbicara tentang pendidikan memang memiliki spektrum yang sangat luas. Namun, dari sekian banyak dimensi yang terkait dengan pendidikan, sebaiknya fokus terhadap penggalian potensi anak didik. Guru bisa mengamati potensi anak didiknya, pun orangtua tentu sangat berperan untuk menggali potensi si anak, pemerintah harus bisa menangkap sinyal tersebut dengan melakukan pendampingan bahkan penyediaan fasilitas. Dengan sebuah kata kunci, pendidikan harus mengedepankan sinergi.
Ketika pendidikan sudah menjadi sebuah sinergi, tentu kualitas anak didik meningkat karena sudah dalam bingkai yang oleh Profesor Yohannes Surya disebut sebagai mestakung alias semesta mendukung. Semua pihak yang bersinergi secara langsung maupun tidak langsung telah berperan mengembangkan potensi anak didik.
Pendidikan sebagai upaya membangun manusia yang seutuhnya memang tidak instan. Namun pemahaman yang mendalam tentang pendidikan sudah mulai memunculkan gerakan-gerakan pendidikan tidak biasa. Ada sekolah alam, sekolah di rumah (homeschooling), sekolah olahraga, sekolah teknologi informasi komunikasi (TIK) dan sekolah-sekolah tematik lainnya. Dengan kemunculan sekolah-sekolah tersebut akan banyak memunculkan anak-anak didik yang unggul sesuai minat/bakat/potensi yang sudah digali sejak dini.
Khayalan saya melambung tinggi, membayangkan sebuah kondisi yang sangat indah sekitar lima sampai sepuluh tahun ke depan. Saya akan melihat anak-anak yang pernah kami ingatkan bahwa seorang Empit memiliki potensi untuk menyanyi, kelak bisa menjadi seorang penyanyi yang terkenal, meskipun pada saat kami dampingi untuk mengerjakan tugas matematika, ia paling malas dan ogah-ogahan. Atau seorang Santana, yang isengnya minta ampun, suka mengganggu orang saat mengerjakan tugas,namun bila sudah waktunya bermain bola, ia paling semangat berlari dan mengolah bola ke segala arah, kami pun tak lupa menghadiahkan kostum sepakbola saat hari ulang tahunnya.
Kehidupan cerdas tidak melulu soal penguasaan materi di ruang-ruang kelas, namun kenyataan membuktikan bahwa pengejawantahan potensi di lingkungan menjadi yang utama.
“If you are planning for a year, sow rice;
If you are planning for a decade, plant trees;
If you are planning for a lifetime, educate people.”
(Pepatah Cina)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H