Ketika pertengahan tahun 2007, saya menginjakkan kaki ke kota Bandung. Hawa nya sangat ramah karena saya pun sebelumnya adalah penduduk daerah dingin. Apalagi ketika berjalan-jalan ke Lembang, seringkali saya dan teman-teman menyamakan kondisinya dengan Berastagi di Sumatera Utara. Saat itu Bandung bisa menghapus kerinduan ke kampung halaman.
Beberapa tahun setelah itu, saya pun meninggalkan Bandung dan mulai menggarap kehidupan ibukota (baca:Jakarta). Kondisi udaranya jelas sangat berbeda, begitupun hiruk pikuk yang ada. Semua sibuk dengan diri sendiri. Minim keramahtamahan. Saat itu Bandung menjadi sebuah kerinduan. Tak heran bahwa setiap akhir minggu maupun hari libur, warga ibukota kebanyakan memilih Bandung sebagai tempat berlibur.
Baru-baru ini, saya diajak oleh teman saya yang belum pernah menginjak Bandung. Dia berasal dari Pontianak, Kalimantan Barat. Ketika tiba di Bandung, ada senyum kebahagiaan yang timbul. “Adem ya di sini,” ucapnya. Bila dibandingkan dengan kota Pontianak, menurutnya sangat jauh berbeda, bahkan bisa jadi Pontianak lebih panas daripada Jakarta. Itulah kesan pertamanya. Saat itu Bandung membuang kerinduannya terhadap kota asalnya.
“Saatnya menjelajah Bandung!,”ajakku. Kami pun memulai perjalanan kami dari ikon kota Bandung, Gedung Sate. Lokasi ini sangat dekat dengan tempat kami menginap sehingga kami cukup berjalan kaki menuju ke situ. Alhasil, dengan bersemangat ia memotret dan minta tolong untuk dipotret di depan gedung. Bahkan kami sempat meminta tolong petugas untuk mengambil gambar kami. Jepret!
Selanjutnya, masih dengan berjalan kaki, kami menuju Jalan RE Martadinata (sering disebut Jalan Riau) untuk melihat-lihat jejeran toko-toko penjual pakaian alias
factory outlet. Setelah beberapa saat, kami pun beranjak ke Trans Studio Bandung. Kali ini kami naik angkutan umum. Setibanya di sana, tentu harus pose dulu. Jepret!
Kami tidak banyak menghabiskan waktu di sana karena teman saya hanya butuh foto. Menurutnya, itu
wisata yang bermanfaat dan hemat. Begitupun ketika kami kembali dari Trans Studio, kami turun di Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat. Dan anda tahu, yang kami lakukan adalah: jepret!
Besoknya, kami memulai perjalanan kami dari daerah Dago. Seperti biasa: jepret! Berjalan sedikit kami tiba di Taman Surapati alias Taman Jomblo. Jepret! Turun sedikit kami udah tiba di ampiteater Taman Film. Jepret! Mural di sekitar taman untuk memeriahkan peringatan KAA ke 60 sangat menarik teman saya, terutama gambar proklamator kita. Jepret!
Selepas dari sana, kami berjalan kaki menuju kampus ITB katanya sih Kampus Institut Terbaik Bangsa. Jepret! Cuci mata dulu. Lalu setelah puas menikmati hawa kampus yang sangat segar, kami menuju Pasar Baru dengan angkutan umum. Di sini kami hanya sebentar karena teman saya takut kalap. Kami pun berjalan menuju Masjid Raya. Dan di sini kami cukup lama nongkrong karena terasa begitu nyaman. Saat itu, Bandung bikin iri dan bila ditinggalkan pasti akan meninggalkan kerinduan. Jepret! Jepret! Jepret!
Setelah itu kami masih berjalan mengitari jalan menuju Gedung Merdeka. Berpose dengan Charlie Chaplin Bandung, merasakan suasana antik jalan Braga dan terakhir kami menuju Cihampelas Walk untuk ketemu teman kami.
Saya seperti di
charge kembali. Bandung sangat berbeda dan pasti akan menimbulkan kerinduan. Alun-alun Bandung di depan Mesjid Raya Bandung itu betul-betul memberi rasa nyaman. Ada kehangatan ketika berbaur di sana. Bahkan kalau tidak karena kelelahan, saya sudah pasti ikut bermain bola-bola karet dengan orang-orang di sana. Ruang itu benar-benar tanpa batas. Saya perantau dari Sumatera dan nonmuslim, tapi saya tidak merasa asing. Benar-benar nyaman. Ruang seperti itu bisa jadi inspirasi bagi kota-kota lain.
Beberapa foto terkait:
*) Sumber Gambar: Dok. PribadiBaca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Travel Story Selengkapnya