Mohon tunggu...
Niko Simamora
Niko Simamora Mohon Tunggu... Pengajar - Menulis

@nikomamora~\r\nnikosimamora.wordpress.com~\r\nniko_smora@live.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Money

Bauksit Untuk Sebesar-besarnya Kemakmuran Rakyat

7 Juni 2015   02:47 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:19 1291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="469" caption="Bauksit (gambar:infotambang)"][/caption] Dari laman bauksit.com, yang dimaksud dengan bauksit adalah biji utama aluminium terdiri dari hydrous aluminium oksida dan aluminium hidroksida yaitu berupa mineral buhmit (Al2O3H2O), mineral gibsit (Al2O3 .3H2O), dan diaspore α-ALO (OH), bersama-sama dengan oksida besi goethite dan bijih besi, mineral tanah liat kaolinit dan sejumlah kecil anatase Tio 2. Secara umum bauksit mengandung Al2O3 sebanyak 45 – 65%, SiO2 1 – 12%, Fe2O3 2 – 25%, TiO2 >3%, dan H2O 14 – 36%. Bauksit pertama kali ditemukan pada tahun 1821 oleh geolog bernama Pierre Berthier pemberian nama sama dengan nama desa Les Baux di selatan Perancis. Di Indonesia Bauksit pertama kali ditemukan pada tahun 1924 di Kijang, pulau Bintan, di provinsi Kepulauan Riau. Bijih bauksit terjadi di daerah tropika dan subtropika dengan memungkinkan pelapukan sangat kuat. Bauksit terbentuk dari batuan sedimen yang mempunyai kadar Al nisbi tinggi, kadar Fe rendah dan kadar kuarsa (SiO2) bebasnya sedikit atau bahkan tidak mengandung sama sekali. Batuan tersebut (misalnya sienit dan nefelin) yang berasal dari batuan beku, batu lempung, lempung dan serpih. Batuan-batuan tersebut akan mengalami proses lateritisasi, yang kemudian oleh proses dehidrasi akan mengeras menjadi bauksit. Bauksit dapat ditemukan dalam lapisan mendatar tetapi kedudukannya di kedalaman tertentu. Potensi dan cadangan endapan bauksit terdapat di Pulau Bintan, Kepulauan Riau, Pulau Bangka, dan Pulau Kalimantan. Bauksit adalah bahan dasar untuk membuat aluminium. Sebelum menjadi aluminium, bauksit tersebut diolah melalui proses bayer maupun proses "Hall–Héroult" tergantung dari kadar silikanya untuk menghasilkan alumina. Alumina ini yang kemudian diolah menjadi aluminium. Nah, dari aluminium ini yang kemudian digunakan sebagai bahan dasar untuk berbagai industri. Ada empat bidang utama yang memanfaatkan aluminium sebagai bahan baku mereka, yaitu otomotif, kelistrikan, properti, dan alat-alat rumah tangga. Potensi Bauksit Indonesia Dari data yang dipaparkan oleh Erry Sofyan, Ketua Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia, sumberdaya bauksit yang terdapat di Indonesia adalah sekitar 7,55 miliar ton dan cadangan sebesar 3,22 miliar ton. Potensi ini sangat besar dan dari hasil selama ini, berdasarkan data tahun 2013, penjualan bauksit tersebut keseluruhan mencapai 18,41 triliun rupiah, menyumbang pajak ke negara sebesar 4,12 triliun rupiah dan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) sebesar 0,64 triliun rupiah. Selain itu, adanya perusahaan pertambangan bauksit tersebut telah memberi lapangan pekerjaan 40.000 orang yang tentunya dapat menghidupi sekitar 160.000 orang. Dengan potensi tersebut, sangat wajar bahwa para pengusaha pertambangan tersebut harus didorong untuk dapat mengeksploitasi kekayaan alam tersebut, tentu  dengan memperhatikan sistem kesehatan, keselamatan kerja dan lingkungan dan tentunya harus bersinergi secara sosial dengan masyarakat di sekitar pertambangan. Hingga saat ini, ada 182 perusahaan yang telah memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP), sebanyak 77 perusahaan sudah berproduksi sementara 105 perusahaan masih dalam tahap eksplorasi. Selama ini, perusahaan tambang bauksit mengekspor hasil tambangnya ke luar negeri karena di Indonesia belum ada fasilitas pengolahan (smelter) bauksit menjadi alumina. Dengan demikian, bauksit yang dihasilkan tersebut tidak bisa langsung digunakan sebagai bahan utama untuk pabrik aluminium milik negara yang baru diakuisisi dari Jepang, PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum). PT Inalum selama ini mengimpor alumina dari Australia. Ini pun sebenarnya adalah potensi yang harus segera dikelola oleh pemerintah. Investasi untuk pengembangan pertambangan bauksit berupa fasilitas pengolahan bauksit harus direalisasikan. Selain untuk menambah nilai jual dari bauksit, tentu juga memenuhi kebutuhan domestik yang bertambah. Pakar Metalurgi UI, Prof. Bambang Suharno mengungkapkan bahwa dalam rantai suplai (supply chain) pengolahan mineral bauksit menjadi aluminium, ada missing link di Indonesia, di mana fasilitas pengolahan bauksit menjadi alumina belum tersedia. Aluminium diperoleh dari pengolahan alumina, alumina diperoleh dari pengolahan bauksit. Selama ini Indonesia mengekspor bauksit, tapi mengimpor alumina. Padahal kebutuhan bahan-bahan untuk industri berbasis mineral ke depan perlu diprioritaskan dalam mendukung program hilirisasi pemerintah. Lebih lanjut, Prof Bambang menjelaskan bahwa untuk memperoleh 1 ton aluminium dibutuhkan 2 ton alumina yang diperoleh dari 4 ton bauksit. Kebutuhan aluminium di Indonesia saat ini sekitar 800.000 ton/tahun. Sementara PT Inalum hanya menghasilkan aluminium sebesar 250.000 ton/ tahun. Program peningkatan kapasitas (double capacity) di PT Inalum sedang dijalankan yang artinya diharapkan dapat menghasilkan 500.000 ton/tahun dan itupun masih ada selisih kebutuhan yang harus dipenuhi dan tentunya itu diatasi dengan mengimpor. Bahkan diprediksi hingga tahun 2025, kebutuhan aluminium bisa mencapai 2,3 juta ton/tahun. Dengan kata lain, hingga tahun 2025, Indonesia harus siap mengolah bauksit menjadi alumina sebanyak 5 juta ton/tahun. Kondisi terkini terkait kegiatan perusahaan tambang bauksit justru sangat memprihatinkan. Kebanyakan perusahaan sudah tutup dan kebanyakan akan menyusul ditutup karena sudah tidak mampu lagi membiayai operasionalnya. Para pekerja pun sudah banyak yang dirumahkan. Pasalnya adalah adanya pelarangan ekspor bauksit yang dikeluarkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Pelarangan ekspor bauksit membuat keuangan para pengusaha penambang bauksit menjadi sulit karena mereka tidak mempunyai pendapatan dari penjualan bauksit, sementara itu mereka harus berinvestasi membangun smelter. Hal ini sesuai dengan ketentuan pemerintah yang mengharuskan perusahaan-perusahaan tambang untuk membangun smelter sesuai perintah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan BatuBara (UU Minerba). Pengamat Pertambangan, Simon Sembiring, yang juga mantan Dirjen Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM mengungkapkan bahwa kebijakan pelarangan ekspor untuk mineral bauksit adalah kebijakan yang salah kaprah. Ini membuktikan bahwa pemerintah tidak mengerti terhadap kebijakan yang dikeluarkan. Ia menggarisbawahi bahwa dalam UU Mineral dan Batubara tidak terdapat pernyataan untuk melarang ekspor. Dalam menjalankan perintah UU juga, diharapkan bahwa peraturan teknis yang ada di bawahnya harus sejalan bukan malah bertentangan . Hal ini terkait dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2014 yang menetapkan pelarangan ekspor mineral mentah (ore) bauksit. Oleh karena itu, peraturan yang tidak sejalan harus dikaji ulang dan bila perlu ditarik kembali. Simon Sembiring menyayangkan sikap pemerintah yang sangat lunak terhadap perusahaan pertambangan asing yang masih diberi kompensasi untuk melakukan ekspor mineral sambil mereka berencana membangun smelter. Sementara perusahaan dalam negeri yang sedang berusaha untuk membangun smelter tidak diperhatikan. Contohnya adalah PT Well Harvest Winning Alumina Refinery milik Harita Group di Ketapang, Kalimantan Barat yang tahap pembangunannya sudah mencapai lebih dari 40% namun akhirnya harus terhenti karena tidak adanya pendapatan dari hasil penjualan bauksit. Ia membandingkan Harita Group dengan perusahaan asing (PT Freeport dan PT Newmont) yang masih akan berencana membangun smelter dan belum melakukan studi kelayakan yang diberi relaksasi ekspor bahan mentah sementara sambil mereka membangun smelter. [caption id="" align="aligncenter" width="256" caption="Suasana Peletakan Batu Pertama Alumina Plant Harita Group (gambar: google)"][/caption] Ironi. Itulah hal yang terjadi dengan adanya kebijakan pemerintah tersebut. Faisal Basri menggambarkan kondisi saat ini adalah mengasingkan perusahaan nasional, bukan menasionalkan asing. Ia mengungkapkan bahwa usaha pertambangan  adalah usaha dengan investasi yang besar dan berjangka panjang, itu sebabnya perlu kepastian hukum dan pemerintah harus memiliki keberpihakan terhadap perusahaan-perusahaan nasional yang berani mengambil resiko tinggi tersebut. Dalam paparannya, Faisal Basri menduga bahwa adanya kebijakan pelarangan ekspor bauksit tersebut diprakarsai oleh Hatta Rajasa yang saat itu masih menjabat Menko Perekonomian. Penandatangan MoU (memorandum of understanding) yang dilakukan oleh Hatta Rajasa dengan UC Rusal (perusahaan aluminium Rusia) dan Suryo Bambang Sulisto pada tahun 2014 yang berencana akan berinvestasi untuk membangun smelter, sementara UC Rusal tersebut sudah pernah menandatangani MoU pada tahun 2007, namun hingga saat ini tidak ada tanda-tanda smelter yang akan mereka bangun. Dengan MoU tersebut, 40 juta ton bauksit hasil dari Indonesia lenyap di pasar dan mengakibatkan harga bauksit yang mereka (Rusal) jual meningkat di pasar. Jelas sekali bahwa, masih ada tangan-tangan yang tak bertanggungjawab yang mencoba menguasai industri pertambangan Indonesia untuk kepentingan segelintir orang. Fenomena ini memang terdapat dalam banyak aspek perekonomian di negeri ini. Pemerintah sekarang memiliki beban yang tidak ringan untuk memberantas hal tersebut. Kepemimpinan Jokowi menghadapi ujian yang tidak ringan terkait masalah pertambangan bauksit ini. Program hilirisasi yang telah dideklarasikan menunggu untuk direalisasikan saat ini. Itulah yang menjadi tanggung jawab pemerintah yang secara teknis dilaksanakan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Sebagai masyarakat awam, saya menilai bahwa urgensi pembangunan smelter harus segera direalisasikan oleh pemerintah dengan melakukan pendampingan terhadap perusahaan-perusahaan nasional yang sudah bekerja keras untuk mewujudkannya. Kebijakan pelarangan ekspor perlu ditinjau kembali untuk bisa tetap menggerakkan operasional perusahaan tambang-tambang bauksit terutama yang sedang melakukan pembangunan smelter. Dan yang paling utama adalah bagaimana pemerintah bekerja keras untuk mengeliminasi kepentingan-kepentingan segelintir orang yang menghambat tujuan pengelolaan tambang bauksit untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun