Mohon tunggu...
Niko Shendi
Niko Shendi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa S1 Ilmu Komunikasi FISIP UAJY | De Britto'12 | Pecinta fotografi | blogger | shendiasto.wordpress.com | Twitter: @Nikoshendi | niko.shendi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Serupa Tapi Tak Sama dengan Foto Laman Depan Kompas

22 September 2015   15:48 Diperbarui: 22 September 2015   17:27 1079
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Foto Serupa tapi Tak Sama Bor Bawah Tanah Antareja"][/caption]"Dalam fotografi jurnalistik, hal terpenting adalah perencanaan pemotretan. Bahkan, bisa dikatakan, sebuah foto sudah ada sebelum dipotret" - Arbain Rambey

Pagi ini saya membaca Harian Kompas dan tertarik dengan sebuah foto yang terpampang di halaman depan di bawah foto headline yang menurut saya sangat menarik. Foto tersebut tentang mesin bor bawah tanah (tunnel boring machine) Antareja yang telah diresmikan Jokowi dan akan memulai pekerjaan pengeboran jalur MRT fase pertama. Mesin yang disebut-sebut mempunyai bobot 323 ton dengan diameter 6,7 meter (Kompas, 22 September 2015) itu akan memulai pengeboran bawah tanah untuk koridor selatan-utara sepanjang 23,8 kilometer.

Foto karya fotografer Kompas, Wisnu Widiantoro, tersebut menurut saya menarik karena secara prinsip, foto tersebut diambil dengan komposisi yang tepat. Bentuk bor yang melingkar dan menyerupai huruf “O” merupakan obyek yang menarik untuk difoto. Ditambah lagi ada seorang pekerja proyek yang sedang menggunakan HT di depan bor dan ditempatkan dengan manis pada 1/3 bagian foto. Hal itu memenuhi prinsip “rule of thirds” yang bagi sebagian besar pencipta foto merupakan prinsip pamungkas untuk menghasilkan foto yang indah. Hasilnya, foto bor antareja seakan memiliki nyawa atau hidup dan dapat lebih bercerita kepada penikmat foto.

Setelah makan siang, ketika saya melihat foto-foto di Instagram, saya kembali melihat foto yang serupa dengan foto karya Wisnu Widiantoro. Namun kali ini saya melihat foto tersebut di akun Instagram Antarafoto (seperti yang ada pada gambar di tulisan ini). Sepersekian detik saya mengira dua foto tersebut lahir dari bidikan satu orang, ternyata tidak. Foto yang saya lihat di Instagram tersebut setelah diamat-amati memang berbeda dan tertulis sebagai karya fotografer Antarafoto Widodo S. Jusuf.

Menarik bahwa kedua jurnalis foto ini memiliki karya yang serupa tapi tak sama. Foto bor bawah tanah Antareja dari kedua jurnalis foto ini diambil dari angle, timing, dan komposisi yang sama. Intinya dengan cara berpikir dan konsep foto yang sama. Hanya posisi fotografer saja yang berbeda. Terlepas dari kebijakan pra-posting redaksi yang mungkin berakibat terpotongnya foto atau akibat lainnya, saya kira Fotografer Kompas, Wisnu Widiantoro berada di sebelah kiri dari fotografer Antarafoto, Widodo S. Jusuf yang berdiri tepat sejajar dengan bor (terlihat dari framing lingkaran bor yang lebih sempurna pada foto di akun Instagram Antarafoto).

Saya tergelitik pula apakah foto diambil pada waktu yang sama ketika ada pekerja proyek berdiri di depan bor tersebut sembari menggunakan HT miliknya. Jadilah saya bolak-balik antara koran dan Instagram memastikan semua posisi bagian tubuh pekerja proyek itu sama. Hasilnya, saya simpulkan kedua jurnalis foto mengambil foto dengan timing yang tidak jauh berbeda karena pekerja proyek yang sama-sama ditempatkan dalam frame kamera dengan mengacu rule of third pada kedua foto memiliki posisi tangan memegang HT, arah pandangan mata, hingga garis kusut kemeja yang sama persis.

Dua karya serupa tapi tak sama dua jurnalis dari dua media yang ternama ini membuktikan bahwa fotografi merupakan hal yang menarik. Ibaratnya semua orang dapat menghasilkan karya masing-masing dengan obyek yang sama, namun hanya beberapa yang mendapat pujian sebagai foto yang bagus. Tidak lain dan tidak bukan adalah mereka yang mengerti tentang beberapa pedoman dasar membuat foto menjadi menarik, atau saya lebih suka menyebutnya sebagai foto yang bercerita. Jelas kedua jurnalis foto ini telah terlatih dan memiliki insting yang menuntun mereka untuk berpikir sedemikian rupa hingga foto yang dihasilkan memang memenuhi pedoman foto yang bagus.

Arbain Rambey, pada rubrik Klinik Fotografinya (Kompas, 22 September 2015) memaparkan bahwa seorang jurnalis foto saat menekan tombol rana sebenarnya hanya mewujudkan apa yang sudah ada di benaknya sebelumnya. Oleh karena itu tidak heran jika benak kedua jurnalis foto ini sudah terlatih sehingga menghasilkan dua karya ini yang memang diakui bagus adanya. Semua itu juga dapat kita terapkan sebagai pencipta foto pemula dengan melatih diri kita untuk terus-menerus memotret dan menilai karya kita dengan pedoman-pedoman foto yang bagus itu sendiri. Selamat berkarya!

 

Salam Jepret,

Niko Shendi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun