Saya masih ingat ketika masih bekerja di kota Surabaya beberapa tahun lalu. Bersama teman saya, asal Aceh, makan di warung ikan segar, di daerah Sedati, Juanda.
"Mari mas, silakan masuk. Makan pake ikan apa?" tanya ibu setagah baya, pemiliki warung.
"Kakap merah, dua bu."
"Tunggu ya, sabar. yang pesan cukup banyak."
Kami duduk di tikar, alias lesehan. Beberapa kali suara pesawat mengelegar diatas warung itu, seperti bunyi seng yang dipukul beramai-ramai.
Kira-kira 10 menit, "ini mas pesannya"
"terima kasih." sahut temanku.
Kami menikmati sajian ikan kakap nerah diiringi suara dangdut koplo, karena beberapa meter dari warung itu ada orang yang lagi punya hajatan.
"Buset! bang. udah habis nasi sepiring?"
"Lapar."
"Bu, tambah nasi ya?" suara dangdut koplo menghambat pendegaran.
"Tanduk, mas?" sahut pemilik warung.
"Tidak. nambah satu piring."
"Lha iya, tanduk ta?"
"Tidak."
Aku tertawa cekikikan. "Bang, yang dimaksud ibu itu "tanduk" adalah tambah, bukan "tanduk" wedhus, hahahaha."
Setelah aku pindah dari kota Pahlawan dari 10 tahun yang lalu, aku belum pernah ketemu lagi dengan teman asal Aceh. Pengen rasanya berwisata kuliner di warung "tanduk" lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H