Mohon tunggu...
NY. Sartono Widodo
NY. Sartono Widodo Mohon Tunggu... -

"Kehidupan tanpa buku seperti berada di sebuah jalan buntu" \r\n\r\nSaat ini bekerja sebagai freelancer web designer & developer

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Lastri (Penjual Jamu Gendong)

1 Desember 2010   03:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:09 637
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Terik matahari siang itu begitu panas, biasanya pertanda akan hujan. Mendungpun tampak berduyung-duyung dari arah selatan, menuju tengah kota, berhenti dan menutupi langit kotaMalang. Terik pun berganti sedikit dingin disertai hembusan angin yang mendesir.

“Lastri, Lastri.” Panggil lek Karto, si pengayuh becak yang biasa mangkal di depan Bank Permata.

Lastri menghentikan langkahnya, memandang lek Karto yang memanggilnya dari seberang jalan, “Ada apa lek To? Mau beli jamu ya?” jawab lastri.

“Iya.” Sahut lek Karto

Lastri menegok kekanan dan kekiri, meyeberang jalan menghampiri lek Karto yang masih duduk didalam becaknya.

“Iya Tri, badanku pegel-pegel, tadi barusan aku dapat rejeki nagantar mbok Sumi ke pasar besar.”

“Dapat rejeki kok malah sakit, kepiye to lek.” Jawab Lastri, sambil menyodorkan jamu dari gelas bathok kelapa.

Lastri memang terkenal dikalangan para penarik becak, usianya masih 20 tahun, berasal dari dusun Krisik, kecamatan Wlingi, kabupaten Blitar. Lastri sudah hampir dua tahun merantu di kotaMalang, meneruskan kuliah disalah satu Perguruan Tinggi Negeri, di fakultas pertanian. Di Malang ia tinggal berdua, menyewa kamar kos berukuran 4 x 5 meter bersama Dina, teman kuliahnya. Lastri orangnya supel, beda dengan Dina yang enggan bergaul dengan tetangga sekitar kosnya. Dari latar belakang ekonomi, Dina lebih berutung dibandingkan Lastri, ayah Dina seorang kepala desa sedangkan Lastri anak buruh tani.

“Kamu baru jalan ya Tri?” tanya lek Karto setelah meneguk sebathok jamu.

“Iya lek, tadi habis kuliah terus jalan, wong kuliahnya cuma satu jam.”

“Lek karto hari ini panen ya, mbok sesekali aku ditraktir di Pizza Hut.”

“Apa, Pizza Hut! Duit gambar Gareng po!”

“Nggak, nggak lek, aku Cuma guyon kok. Lha kae lho, lek Kardi karo mas Sunar dari Pizza Hut, tapi ya cuma ngantar cik Yenny dan mamanya, heheheheh.”

Tak lama kemudian Sunar dan Kardi menghampiri Lastri yang masih memegang gelas bathok bekas minuman lek To. “Tri, buatkan aku jamu pegel linu yo?” perintah Sunar dengan napas masih terengah-engah.

“Wah! Semua kok pada pegal-pegal, pasti juga baru panen ya?” gurau Lastri sambil mengaduk-aduk jamu racikannya dengan sedok yang terbuat dari logam tembaga.

“Iya Tri, tadi kami baru saja nagantar cik Yenny dan mamanya belanja ke Pasar Besar. Beratnya minta apun.” Balas lek Kardi sambil bergurau.

“Aku kok jadi mikir ya, berarti kita-kita ini sama-sama menguntungkan lho?”

“Menguntungkan model apa Tri, Tri.”

“Lha iya to, njenengan-njenengan kuwi sing kesel lan panen, aku yo melu menikmati hasile to.”

“Woooo dasar mata duitan kowe Tri.” Timpal lek karto, yang kemudian melanjutkan mengayuh becaknya.

Lastri adalah salah satu mahasiswi yang mungkin kurang beruntung bila dibanding dengan teman-temannya. Namun dibalik yang bagi orang lain kurang, Lastri memiliki semagat yang mungkin menjadi kekurangan bagi teman-temannya. Saat Lastri mencari uang membantu orang tuanya untuk biaya kuliahnya dengan menjual jamu gendong, ditempat lain justru teman-temannya bersenang-senang di mal. Bagi Lastri itu adalah fakta dan bukan untuk diperdebatkan. Baginya hidup itu sudah memilki jalannya masing-masing, tinggal kita saja mau memilih jalan yang mana.

Pernah suatu kali Lastri berjumpa dengan teman-teman kampusnya sewaktu jualan jamu didekat stadion Gajayana, kebetulan saat itu sedang ramai-ramainya para penarik becak beristirahat. Jamu dagangan Lastri habis dalam waktu satu jam, namun bukan penghargaan yang diterima Lastri dari teman-temannya, malah cacian yang diterimanya. Selang sehari, di kampusnya sudah menjadi bahan pembicaraan, bahwa Lastri adalah cewek penghibur para penarik becak.

Bagi Lastri peristiwa itu bukan menjadikan dirinya patah semangat, malahan menjadikan dirinya tegar. Bagi Lastri, orang membuat gossip karena tidak tahu keadaan yang sebenarnya. Emangnya gue pikirin.

Sampai hari ini, saat kutulis tulisan ini aku masih sering melihat Lastri berjalan dengan kebaya lurik khasnya, menggendong botol-botol bekas botol sirup di punggungnya.

Selamat berjuang Lastri, semoga impianmu dapat kau raih.

Malang, 9 Mei 2009

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun