Syarat perjalanan berupa menunjukkan hasil negatif tes polymerase chain reaction (PCR) belakangan ini menjadi kebijakan yang membuat kebingungan masyarakat. Pasalnya, pemerintah yang membuat kebijakan tes PCR di moda transportasi kini layaknya anak ABG, sebentar-bentar berubah sikap.
Apa memang benar, pemerintah menggunakan patron cek ombak dan inkonsisten dalam pengambilan kebijakan soal pandemi?
Ceritanya begini. Awalnya, tes PCR hanya diperuntukkan bagi penumpang pesawat dengan masa berlaku maksimal 2x24 jam, tepatnya pada 24 oktober 2021. Namun selanjutnya, turun perintah Presiden untuk menurunkan harga tes PCR menjadi Rp275 ribu di Jawa Bali dan Rp300 ribu di daerah lain. Ini disahkan pada 27 Oktober 2021.
Penurunan harga tes PCR ini dikarenakan adanya kritik dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang menilai bahwa harga PCR sebelumnya yaitu Rp495 ribu di Jawa Bali serta Rp525 ribu di daerah lain sangat mengintimidasi masyarakat.
1 hari setelahnya, yaitu 28 oktober, Mendagri Muhammad Tito Karnavian dan juga Menko Marves RI, Luhut Binsar Pandjaitan kompak mengumumkan bahwa masa berlaku tes PCR menjadi 3x24 jam.Â
Ketika masyarakat, yang mungkin saja membutuhkan moda transportasi untuk kepentingan mendadak, bisa bernafas lega, muncul lagi kebijakan baru selain masa berlaku tes pcr berubah, yaitu seluruh perjalanan dengan moda transportasi darat dan laut juga wajib menunjukkan bukti tes usap RT-PCR.
Dan yang lebih membuat gaduh masyarakat lagi karena secara tiba-tiba di 1 November, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy menghapus kebijakan tes usap RT-PCR di moda transportasi pesawat.
Reaksi Publik: Pemerintah Tidak Tegas dalam Kebijakan Soal PCR
Adanya peraturan yang berubah-ubah ini tak pelak membuat publik menilai bahwa pemerintah tidak tegas dalam menentukan kebijakan menangani penyebaran virus Covid-19.
Seperti komentar dari Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra, "Situasi ini cukup membingungkan seolah-olah pemerintah tidak punya evidence based atau fakta dan data dalam pengambilan keputusan," katanya.