Mohon tunggu...
Nikolas Mauladitiantoro
Nikolas Mauladitiantoro Mohon Tunggu... Lainnya - hanya manusia biasa yang tak luput dari kesalahan

Seorang introvert pecinta kuliner dan terkadang mengamati permasalahan yang ada di Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hari Senin, Hari yang Tidak Menyebalkan?

25 Januari 2021   13:16 Diperbarui: 25 Januari 2021   13:28 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: thejakartapost.com

Kaum hedonis, borjuis dan bagi mereka yang malas, hari Senin merupakan hari terburuk. Apalagi sejak adanya aturan new normal, PSBB maupun PPKM yang membuat ruang gerak mereka semakin dibatasi.

Mengingat hari Senin, maka habislah waktu untuk bersenang- senang. Atmosfer di klub malam membuat enggan untuk berpindah. Keindahan ini akhirnya direbut sejak adanya aturan protokol kesehatan. Cuci tangan terus menerus, harus rutin! Memakai masker di manapun kita berada (bahkan sempat ada arahan untuk memakai masker meski di rumah saja), dan yang terakhir menjaga jarak.

Saat ini, saat new normal ini, hari Senin sudah tidak dibenci oleh mereka. Senin bukanlah hari yang menyebalkan bagi para hedonis di Ibu Kota. New normal membuat orang-orang lebih waspada, termasuk saya yang ketika sedang tidak memakai masker, bisa saja langsung dikenai hukuman sosial berupa menyapu jalanan. Hukuman tersebut mau tidak mau harus dijalankan, yang tidak suka terik matahari di siang hari dan asap kendaraan, pastinya harus menghindari mematuhi aturan new normal.

Mereka yang melanggar akan menyapu dengan memakai rompi kuning ala pelanggar hukum seperti para koruptor atau pembunuh. Sudah resiko dibandingkan harus membayar Rp250.000 sebagai uang denda. Betul,kan? Gara-gara new normal ini juga, apabila kita berbincang-bincang dengan lawan bicara haruslah menjaga jarak dan tidak lupa untuk menggunakan masker juga.

Meski "menyebalkan", ingatlah bahwa new normal merupakan kebijakan global internasional. Semuanya sudah didiskusikan dan dengan pertimbangan kesehatan yang melindungi warga dunia. Seharusnya jika kita lalai dalam menerapkan protokol kesehatan, ya terima saja hukumannya dan harusnya bertanggung jawab.

New normal juga mengimbau kita bahwa jika tidak yang tidak ada kepentingan genting, jangan ke luar rumah. Ya, hitung-hitung mengurangi polusi di Jakarta juga toh. Bagaimana dengan orang tua nir pekerjaan formal? Di hari Seninnya plus kebijakan new normal dan anggota setia partai kantong kosong Indonesia, terasa sama saja.

Sebagai contoh dari pengalaman seseorang penulis Gelora. Dalam dialognya, mereka membahas tentang pertimbangan politik luar negeri dan dibandingkan dengan Indonesia:

"Bung masih ingat kan, kudeta Jenderal Pinochet di Chile beberapa puluh tahun lalu, itu terjadi karena pertimbangan politik luar negeri Amerika."

"Bukan hanya bahwa Pinochet menerima saran dan dorongan secara terang dari agen intelijen Amerika Serikat (CIA), tetapi dia juga dijamin mendapat dukungan diplomatik AS jika rezim militer dia telah terbentuk. Bahkan nama operasinya untuk menumpas kelompok kaum sosialis mereka namakan "operasi Jakarta", mirip dengan yang terjadi di Indonesia."

Tentu pembahasan yang mereka obrolkan berbeda dengan kita, membacanya saja sudah membuat kepala pusing, kan? Namun sebagai lawan bicara yang santun, mau tidak mau jika kita berada di posisinya harus mendengarkan dan setidaknya menanggapi sedikit saja.

Lebih menyebalkan lagi kalau lawan bicara kita terus membicarakan hal yang tidak menarik bagi kita. Ah, ternyata yang menarik di hari Senin menurut saya rupanya tidak menarik bagi lawan bicara saya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun