Mohon tunggu...
Nikodemus Yudho Sulistyo
Nikodemus Yudho Sulistyo Mohon Tunggu... Dosen - Menulis memberikan saya ruang untuk berdiskusi pada diri sendiri.

Saya bergabung di Kompasiana sekedar untuk berbagi mengenai beragam hal. Saya menyenangi semua yang berhubungan dengan bahasa, sosial, budaya dan filosofi. Untuk konten yang berhubungan dengan kritik sastra, dapat juga ditonton di kanal YouTube saya yang bisa diklik di link profil.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Langit-Langit

16 Januari 2025   08:23 Diperbarui: 16 Januari 2025   08:29 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Awal acara semua berjalan lancar bagiku, istri dan anakku. Anak perempuanku itu juga sempat bermain-main dengan ceria bersama anak-anak sebaya yang hadir, termasuk keponakan perempuanku. Namun, ketika malam mulai semakin larut, anak perempuanku mulai rewel. Kemungkinan besar memang karena ia telah lelah dan mengantuk.

Oleh penghuni rumah, istriku ditawarkan untuk menidurkan anak perempuanku di sebuah bilik. Karena anakku mendapatkan ASI, maka bila ingin tidur ia terlebih dahulu disusui.

Sesaat, aku sempat mencari dimana istriku berada karena sebelumnya aku berbincang-bincang dengan adikku, serta kerabat-kerabat dari pihak suaminya. Tak lama, seorang ibu yang tinggal di rumah itu menghampiriku. "Pados garwa lan putrinipun, nggih?" ujar sang ibu dalam bahasa Jawa halus. Ia bertanya apakah aku sedang mencari istri dan anak perempuannya.

"Nggih, Bu," jawabku pendek sembari tersenyum sopan.

"Niku lho, Dek. Sedaya wonten ing kamar," jawabnya sambil menunjuk ke arah satu bilik dengan ibu jarinya. Sang ibu juga menjelaskan bahwa tadi anak perempuanku rewel dan menangis karena sudah mengantuk. Istriku diminta ke kamarnya untuk menyusui dan menidurkannya.

Aku paham, kemudian mengangguk dan berterimakasih.

Bilik yang dimaksud oleh sang ibu terletak di tengah ruangan rumah joglo besar ini yang sepertinya dibagi menjadi dua bagian tepat di tengah dengan sekat panjang. Kamar itu tidak memiliki pintu, melainkan ditutupi dengan selembar tirai dari jarit batik. Tirai akan ditutup untuk menandakan bahwa bilik sedang digunakan dan ada orang di dalamnya, tetapi akan dibuka atau disimpul bila sedang kosong.

Sebelum masuk ke dalam kamar tersebut, aku berbisik memanggil nama istriku dulu agar ia tak terkejut ketika aku membuka tirai.

Istriku sedang menyusui anak perempuanku yang ternyata masih belum terlelap. Istriku mengatakan bahwa anakku rewel dan gelisah sejak tadi. Malah itu terjadi ketika ia berada di dalam kamar. Mungkin karena takut dengan boneka-boneka yang ada di dalam kamar ini.

Aku melirik ke segala penjuru kamar. Memang banyak boneka beragam bentuk, termasuk satu yang cukup besar di letakkan di pajangan dinding di atas bagian kepala tempat tidur. Aku juga melirik ke langit-langit rumah.

Seperti pada umumnya rumah-rumah tradisional di Jogja, tidak ada plafon. Kita dapat langsung melihat rangka atap bambu dan kayu, serta susunan genteng. Namun, di dalam kamar ini, ada plafon dicat putih yang tidak terlalu tinggi, membuat kesan kamar menjadi sedikit kecil dan sempit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun