Mohon tunggu...
Nikodemus Yudho Sulistyo
Nikodemus Yudho Sulistyo Mohon Tunggu... Dosen - Menulis memberikan saya ruang untuk berdiskusi pada diri sendiri.

Saya bergabung di Kompasiana sekedar untuk berbagi mengenai beragam hal. Saya menyenangi semua yang berhubungan dengan bahasa, sosial, budaya dan filosofi. Untuk konten yang berhubungan dengan kritik sastra, dapat juga ditonton di kanal YouTube saya yang bisa diklik di link profil.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Mengapa Penggambaran Tokoh dan Penokohan 'Jeng Yah' di Film Serial Original Netflix 'Gadis Kretek' Salah?

9 April 2024   15:37 Diperbarui: 9 April 2024   15:40 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://static.promediateknologi.id/crop/0x0:0x0/0x0/webp/photo/radarpurworejo/2023/11/25-2063782367.png

Saya menulis tulisan ini sebagai bentuk apresiasi terhadap serial original pertama Indonesia di Netflix. Film berjudul Gadis Kretek yang dibintangi oleh aktor dan aktris besar Indonesia seperti Dian Sastro, Ario Bayu, Putri Marino, Arya Saloka sampai Ine Febriyanti dan Ibnu Jamil ini memiliki jalan cerita yang ciamik, sinematografi yang mengesankan, serta akting yang mumpuni.

Hanya saja, sebagai orang yang sudah terlebih dahulu membaca versi novelnya yang berjudul sama, 'Gadis Kretek', ditulis oleh Ratih Kumala, ada beberapa hal yang menurut saya mengganggu. Ini bukan berarti serial Netflix itu buruk, melainkan saya memiliki sedikit kekecewaan saja terutama pada perubahan versi penggambaran tokoh dan penokohan 'Jeng Yah' diantara kedua versi tersebut. Dan, saya cukup menyayangkan dengan adanya perubahan tersebut.

Ratih Kumala, sang penulis novel, sudah menjelaskan bahwa memang ada perubahan sedikit di dalam jalan cerita dan penokohan Jeng Yah yang dibintangi oleh Dian Sastrowardoyo. Namun, menurutnya, perubahan itu hanya merupakan pergeseran demi kepentingan visual belaka (Sumber). Sang penulis sendiri juga menjelaskan lebih lanjut bahwa versi film, perubahan penokohan di dalam film merupakan versi Kamila Andini, sang sutradara. Dasiyah digambarkan lebih galak dan kaku.

Namun, setelah saya selesai menonton lima episode lengkap film seri Netflix original tersebut, perbedaan tokoh Dasiyah, atau Jeng Yah, yang ada di dalam film dan di novel sangatlah berbeda, kontras dan signifikan.

Di dalam film, Dasiyah tidak sekadar galak dan kaku, melainkan serius, dingin, murung, serta muram dan suram. Secara sinematik, mungkin ini bisa dipahami. Sinematografi film yang menggunakan warna-warna klasik dan cenderung gelap, sepertinya sesuai dengan citra Dian Sastrowardoyo yang juga seperti itu. Menggunakan kebaya berwana hitam dan putih di sepanjang film, berjalan dengan tubuh tegak dan dagu terangkat, pastilah menjadi gambaran yang tepat secara visual.

Sedangkan, berkebalikan dengan Dasiyah di dalam novel yang kenes, cerewet, cerita, positif dan bahagia. Hanya saja, bukan itu yang mau saya perbandingkan.

Saya paham bahwa gambaran perempuan kuat, dewasa, berani dan independen, sepertinya cocok dibuat seperti Jeng Yah di dalam versi filmnya. Namun, ini merupakan kesalahan besar menurut saya.

Jeng Yah di dalam novel tidak sedepresif versi film. Ini karena Dasiyah hidup di dalam keluarga yang hebat. Ayahnya, Idroes Moeria, adalah laki-laki yang bukan tipe patriarki. Ia punya harga diri, tetapi tidak pernah merendahkan perempuan. Sang istri, Roemaisa, juga bukan jenis perempuan tipikal Jawa yang manut-manut saja. Ia terpelajar, berani, dan memiliki status serta posisi yang sederajat dengan sang suami atau laki-laki lainnya.

Sifat ini didapatkan Roemaisa dari sang ayah, yang menolak lamaran Djagad karena ia tidak bisa membaca. Idroes diterima karena mampu membaca dan Roemaisa pun cinta padanya. Roemaisa berasal dari keluarga yang paham pendidikan dan perasaan. Tidak seperti tipikal kehidupan sosial Jawa di masa lalu yang kerap digambarkan di karya-karya sastra. Maka, tidak seperti di film, Idroes tidak memarahi (bahkan sampai mengusir) Soeraja dan Dasiyah karena memiliki hubungan. Di dalam novel, hubungan percintaan Dasiyah dan Soeraja menonjol dan baik-baik saja. Soeraja dan Dasiyah kerap bergombal dan bergoda-goda. Di film, Dasiyah dijodohkan dengan Seno. Dasiyah tidak bisa menolak sehingga ia digambarkan sebagai seorang perempuan yang tidak memiliki kuasa. Ia tidak bisa memilih jodohnya sendiri. Sehingga ia mengeluh menjadi perempuan yang dituntut untuk bisa masak, macak dan manak saja (masak, berdandan, dan melahirkan).

Sebaliknya, di novel, kekuasaan dan kekuatan berada di tangan Dasiyah secara penuh.

Makanya saya merasa aneh ketika di dalam film Dasiyah digambarkan tidak memiliki kekuatan pada perusahaan kretek milik sang ayah (atau keluarga dalam hal ini), kretek Merdeka!. Ia bahkan dimarahi karena ikut campur di dalam ruangan khusus 'saus' untuk bahan campuran rokok kretek. Keberadaannya di ruangan itu sampai dianggap najis sehingga harus dibersihkan.

Di dalam novel, posisi perempuan di perusahaan kretek itu sangat penting dan kuat. Pertama, semua orang malah berebut ingin mencoba kretek yang dilinting langsung oleh Jeng Yang. Jeng Yah sebagai peracik saus yang handal, sangatlah diakui. Tidak hanya oleh sang ayah dan keluarga, melainkan para konsumen. Tidak ada tabu atau larangan dalam hal ini. Para pekerja pembuat kretek juga mbok-mbok. Selain itu, rokok kretek yang digambarkan di novel melambangkan kesetaraan gender, katakan saja genderless. Di film, kepentingan visual malah mendgradasi simbol kesetaraan yang sudah dibuat di dalam novel.

Maksudnya begini. Di novel, semua orang merokok kretek (atau tingwe, atau klobot menyan), laki-laki maupun perempuan. Sudah menjadi budaya, dan tidak ada masalah apapun disana. Di dalam film, pengambilan gambar ketika perempuan merokok (kebanyakan memang Jeng Yah), kesan lain akan muncul. Misalnya perempuan itu sebagai sosok pemberontak, pemberani, dan sebagainya. Ini membuat rokok kretek dikembalikan ke citra awal: maskulin.

Sang sutradara nampaknya berjuang keras untuk menunjukkan sisi kekuatan seorang perempuan. Ini sama sekali tidak salah. Tetapi, terlihat sekali tokoh Jeng Yah tertatih-tatih. Di dalam novel, kekuatan Jeng Yah sudah terlihat dari awal. Bukan sebagai semata-mata sebagai perempuan, melainkan sebagai seorang tokoh, yang melintasi garis-garis batasan gender.

Lihat ketika Dasiyah di dalam novel akhirnya bercinta (berhubungan seksual) dengan Soeraja. Ini terjadi ketika Dasiyah sudah bertunangan dan mereka melakukannya tanpa hubungan suami istri. Adegan ini mungkin sekali ditujukan untuk menggambarkan penokohan Dasiyah yang berani, melawan arus, dan pemberontak. Namun, adegan merokok setelah percintaan, malah gagal menunjukkan itu. Dasiyah 'dirusak' menjadi gambaran tipikal perempuan binal dan nakal, dimana sebenarnya untuk menggambarkan kekuatan dan kekuasaan seorang perempuan, banyak cara yang bisa dilakukan.

Cara novel Gadis Kretek memperlakukan Jeng Yah dan semua tokohnya sangat santai dan tanpa beban. Walaupun sang penulis adalah seorang perempuan, ia tidak terlihat berusaha mati-matian mencarikan pembenaran dan pembelaan kepada tokoh utamanya itu. Alam dan masyarakat Jawa fiksi di dalam novel bukanlah musuh sang tokoh utama (Me against the World), melainkan penyokong jalan cerita. Di dalam film, untuk memperkuat tokoh perempuan sekaligus tokoh utamanya, sang sutradara malah menghancurkannya dan membebaninya dengan masalah-masalah tipikal yang sejatinya mungkin tidak selalu tepat.

Novel Gadis Kretek malah sebenarnya sudah mampu memberikan semacam perspektif lain dari kehidupan sosial yang kita hadapi saat ini, yang meskipun fiksi, tetap saja kadang-kadang bersifat sebagai cermin. Ratih Kumala menghindari stereotip perempuan Jawa yang lemah dan tunduk pada dunia patriarkal, sekaligus memberikan gambaran dunia Jawa yang juga tidak melulu patriarkal.

Contoh saja di buku 'Perempuan-Perempuan Perkasa di Abad XVIII-XIX' oleh Peter Carey, yang diterbitkan tahun 1986 (terus dicetak ulang sampai tahun 2023). Di dalam buku itu, Carey menjelaskan banyak sekali tokoh perempuan priayi atau keraton yang memegang kekuasaan besar dalam bidang bisnis, politik, bahkan militer. Ini juga diakui secara 'budaya' oleh orang-orang Jawa di masa lalu yang kerap dianggap melulu dikuasai laki-laki.

Novel Gadis Kretek menunjukkan bahwa kesetaraan gender itu wajar dan sangat mungkin, bahkan di masa lalu, di budaya Jawa pula. Sedangkan versi filmnya, kembali merusak perspektif ini, membawa tokoh Jeng Yah menjadi jenis gadis tradisional yang melawan dunia laki-laki. Itu sebabnya saya merasa bahwa film serti Netflix Gadis Kretek (tanpa mengurangi apresiasi dan rasa hormat) gagal menggambarkan tokoh dan penokohan Dasiyah alias Jeng Yah tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun