Mohon tunggu...
Nikodemus Yudho Sulistyo
Nikodemus Yudho Sulistyo Mohon Tunggu... Dosen - Menulis memberikan saya ruang untuk berdiskusi pada diri sendiri.

Saya bergabung di Kompasiana sekedar untuk berbagi mengenai beragam hal. Saya menyenangi semua yang berhubungan dengan bahasa, sosial, budaya dan filosofi. Untuk konten yang berhubungan dengan kritik sastra, dapat juga ditonton di kanal YouTube saya yang bisa diklik di link profil.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Imlek: Perayaan Budaya atau Agama?

12 Februari 2024   15:29 Diperbarui: 12 Februari 2024   15:45 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiga ajaran yang dimaksud di sini adalah Taoisme, Buddhisme, dan Konfusianisme (Konghucu). Maka, tidak heran bila kita memasuki salah satu klenteng atau vihara Tridharma Buddha, kita akan mendapatkan tiga ajaran agama di dalam satu tempat ibadah. Tridharma kemudian lebih tepat disebut sebagai salah satu bentuk kepercayaan tradisional masyarakat Tionghoa sebagai hasil dari sinkretisme ketiga filsafat atau ajaran yang memengaruhi kebudayaan Tionghoa sejak 2500 tahun yang lalu tersebut.

Dalam buku berjudul Unities and Diversities in Chinese Religions oleh Robert P. Weller, konsep agama seperti ini merupakan bagian yang unik tetapi wajar bagi masyarakat Tionghoa. Misalnya, bagi ajaran Konghucu dan Tao, Hut Co adalah tiga dewa utama, tetapi bagi ajaran Buddha Tionghoa (Mahayana), Hut Co bukanlah dewa, mereka adalah Buddha Sakyamuni dan dua Bodisatwa yang menemaninya. Buku ini juga menjelaskan, walau memiliki perbedaan di dalam hal kepercayaan dan keajaiban oleh tokoh-tokoh religius tersebut, masyarakat Tionghoa berbagi konsep yang serupa. Konsep tentang Surga, takdir, dan kehidupan tetap berlandaskan pada pemikiran yang sama. Oleh sebab itu, agama Konghucu bisa dikatakan juga merupakan budaya, filsafat dan pemikiran, serta agama bagi orang-orang Tinghoa.

Kasarnya, orang Tionghoa, tidak perduli beragama apa, tetaplah juga seorang Konghucu. Perayaan Imlek yang berdasarkan pada kalender Tionghoa, digunakan sebagai momentum budaya, sekaligus perayaan agama bagi orang-orang Konghucu, Tao dan Buddha. Itu sebabnya, misalnya, doa-doa dan ritual dilaksanakan oleh umat Konghucu pada leluhur dan orang-orang suci berdasarkan perhitungan kalender tersebut. Kaisar Kangxi pada tahun 1672 mengeluarkan Maklumat Suci (Sacred Edict) berisi 16 hal (16 articles) yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh rakyat. 

Maklumat Suci ini didasarkan pada ajaran Konfusianis. Ini berarti masyarakat Tionghoa saat itu harus menempatkan ajaran Konghucu di dalam hidup mereka. Maklumat Suci tersebut dibacakan di sekolah-sekolah dan alun-alun di hari pertama dan ke-15 setelah hari raya Tahun Baru Imlek.

Jadi, memang perayaan Tahun Baru Imlek ini adalah perayaan kebudayaan sekaligus perayaan agama masyarakat Tionghoa yang tidak bisa lepas dari kehidupan mereka.

Meskipun terlihat unik, sesungguhnya kita juga bisa mendapatkan contoh lain di dalam budaya Indonesia. Sebut saja perayaan Bodho atau Bakdo, atau juga kerap disebut sebagai Syawalan Kupat (ketupat) (Sumber). Di masyarakat Jawa Tengah dan Yogyakarta, Idul Fitri atau Lebaran juga dikenal dengan nama Syawalan atau Bodho (Bakdo). 

Di Demak, Kudus, Pekalongan dan beberapa tempat lain di Jawa Tengah, semua orang Jawa merayakan Syawalan ini dengan makan makanan khas, seperti apem, ketupat, serta saling kunjung-mengunjungi. Perayaan ini kemudian juga sebenarnya menjadi tidak identik dengan Islam belaka, tetapi Jawa pada khususnya.

Di Jogja, saya ingat bahwa meski kami berasal dari keluarga Katolik, ketika Bodho tiba, kami ikut merayakannya. Bahkan kami membuat kue-kue serta memasak ketupat dan opor ayam. Para keluarga serta tetangga mengunjungi rumah kami, begitu pula sebaliknya. Ketika saya bertanya kepada mendiang mbah putri (nenek) saya, mengapa kami harus melaksanakan budaya ini padahal kami tidak beragama Islam, mbah putri mengatakan bahwa bodho adalah pesta rakyat, serta perayaan kerajaan. 

Meski merayakan perayaan umat Islam, ternyata Bodho adalah bagian tak terlepas dari budaya Jawa, tidak peduli apa latar belakang agama kami. Selama kami adalah orang Jawa, dan asli Jogja, maka kami selalu membuat kue, memasak ketupat dan opor ayam ketika perayaan Bodho hadir.

Maka, bisa dikatakan bahwa Perayaan Tahun Baru Imlek bagi orang Tionghoa serupa dengan perayaan Bodho orang Jawa di Jawa Tengah dan Jogja, yang meski awalnya merupakan perayaan agama, ternyata juga menjadi bagian integral budaya, falsafah serta pola pikir masyarakat yang tidak bisa lepas dari kehidupan mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun