Dengan ditayangkannya film dokumenter yang dirilis oleh Netflix berjudul Ice Cold: Murder, Coffee and Jessica Wongso, rakyat Indonesia kembali diingatkan pada perjalanan kasus hukum yang sempat heboh beberapa tahun lalu tersebut.Â
Film ini tidak hanya menceritakan kasus tersebut, melainkan juga mengulas berbagai pertanyaan tak terjawab seputar persidangan Jessica Wongso -- bertahun-tahun setelah kematian sahabatnya yang dituduhkan dilakukan olehnya, yaitu Mirna Salihin.
Saya sebenarnya bukan pemerhati kasus ini dan tidak mengikuti secara mendetail perkembangan proses pengadilannya sewaktu terjadi pada tahun 2016 lampau. Namun, diluar apakah saya termasuk orang yang percaya pada Jessica Wongso sebagai pelaku tunggal pembunuhan Mirna Salihin atau pun tidak, ada hal menarik yang dapat saya simpulkan dari kasus yang kembali mencuat melalui media sosial ataupun media arus utama.
Beberapa tahun terakhir, sepertinya masyarakat telah terlibat di dalam banyak fenomena sosial-politik, budaya bahkan hukum. Istilah public journalism atau citizen journalism yang merujuk pada pencari berita dari kalangan masyarakat awam yang independen dan tidak terafiliasi dengan lembaga jurnalisme apapun serta menyebarkan berita dengan memanfaatkan media sosial, jelas memberikan sumbangsih besar dalam melaporkan berbagai berita dan informasi kepala khalayak. (Sumber)
Penggunaan media sosial (Twritter, Instagram, Tik Tok, atau Facebook), blog atau video podcast, memberikan dampak yang besar bagi banyak tindakan dan 'gerakan' masyarakat dalam merespon berita yang disampaikan tersebut.Â
Masyarakat yang merespon berita-berita tersebut, yang kini disebut sebagai netizen (net/Internet citizen), kemudian memberikan banyak sekali tekanan secara sosial-politik kepad apihak-pihak yang terlibat, sehingga kasus-kasus tertentu mendapatkan perhatian besar.
Keterlibatan para netizen dalam memberikan komentar, melakukan penyelidikan independen dengan memberikan beragam fakta dan kemungkinan, serta memberikan kritik-kritik tertentu, membuat banyak kasus mendapatkan perhatian yang seharusnya.Â
Misalnya saja kasus Ferdy Sambo yang rumit dan penuh lika-liku, terus dikawal netizen sampai Ferdy Sambo akhirnya dijatuhi hukuman mati, meski kelak kemudian mendapatkan keringan berupa hukuman seumur hidup oleh Mahkamah Agung.
Banyak kasus hukum serupa yang melibatkan gerakan netizen dalam memberikan pendapat serta informasi-informasi tambahan -- yang mungkin dianggap tidak diperhatikan, atau sengaja disembunyikan -- membawa tokoh-tokoh besar yang sepertinya tidak terjangkau hukum, akhirnya juga mendapatkan ganjarannya. Entah para pelaku tersebut pejabat, anak pejabat, penguasa besar, anak pengusaha besar, atau para selebritas.
Intinya, gerakan netizen dianggap mampu memberikan pengaruh besar dalam proses hukum di Indonesia.
Begitu juga perjalanan hukum kasus kopi sianida Jessica Wongso yang pada saat itu sungguh-sungguh dikuti oleh masyarakat. Perhatian ini tentu saja harus berakhir dengan sebuah kesimpulan tertentu: Jessica bersalah, Jessica tidak bersalah, atau sesuatu hal yang lain. Intinya, kasus yang sudah meledak di media tersebut haruslah menyumbangkan 'kepuasan' masyarakat.
Nah, disinilah letak tulisan saya kali ini. Saya menemukan sebuah ironi yang memprihatinkan dalam pola pikir kita sebagai masyarakat yang hampir selalu terlibat dalam banyak fenomena hukum, sosial-budaya-politik bangsa.
Adalah terkenal frasa di Indonesia, "Maha benar netizen dengan segala komentarnya". Ini menunjukkan bahwa ketika netizen sudah mulai terlibat, maka kebenaran akan terungkap, tidak peduli seberapa rumit masalahnya. Hanya saja, frasa itu juga berarti bahwa di sisi lain, netizen tidak selalu benar.Â
Mari kita mengingat salah satu kasus hoaks nasional terbesar di Indonesia pada tahun 2019. Saat itu Audrey, siswa SMP salah satu sekolah di Pontianak, diberitakan dirundung dan dianiaya oleh 12 siswa lain secara sadis. Publik menanggapinya dengan mengangkat hashtag #JusticeForAudrey untuk memberikan dukungan serta mendorong proses hukum yang seharusnya. Nyatanya, hasil visum tidak menunjukkan tanda-tandan pengeroyokan. Netizen pun mulai perlahan berbalik mencibir sang gadis.
Kasus lain mungkin bila kita bisa ingat adalah kasus Darsem, seorang tenaga kerja Indonesia asal Kampung Trungtum, Subang, Jawa Barat, yang lolos dari hukuman pancung di Arab Saudi. Pemerintah Indonesia saat itu didesak oleh publik untuk memberikan bantuan dengan membayar uang pengganti (diat) kepada pemerintah Arab Saudi agar Darsem bebas dari hukuman tersebut.Â
Masyarakat, dengan dikoordinir oleh sebuah stasiun televisi swasta, memberikan sumbangan kepada Darsem sebagai bentuk 'kritik' kepada pemerintah, sekaligus mencoba membayar pembebasan Darsem. Pemerintah kemudian sungguh membayar uang pengganti sehingga Darsem lolos dari hukuman mati.
Masalahnya, setelah selamat dari hukuman mati, Darsem langsung memfoya-foyakan uang pemberian masyarakat yang berjumlah 1,2 milyar Rupiah tersebut tersebut dengan membeli rumah, perhiasan, bahas bangunan, renovasi rumah dan membayar tukang, membayar pengacara, bahkan mengadakan acara sunatan anak laki-lakinya. Sikap Darsem yang sombong ditunjukkan dengan pernyataan bahwa ia merasa berhak atas uang tersebut dan orang hanya sekadar iri padanya.
Kasus Darsem menunjukkan 'kesalahan' netizen lainnya.
Saya mulai berpikir bahwa masyarakat Indonesia sungguh telah terpengaruh pada pemikiran mengenai empati dan praduga yang tidak jarang salah.
Pada kasus Jessica Wongso, sepertinya publik menginginkan sebuah akhir yang memuaskan, bukan yang benar. Harus ada tokoh protagonis dan antagonis, sehingga proses hukum sesungguhnya tidak berjalan dengan baik. Pembuktian hanya lebih ditutupi oleh kesan. Praduga tak bersalah tidak dipedulikan. Sebaliknya, hanya asumsi yang berada di garis depan.
Masalah apakah Jessica Wongso benar-benar membunuh Mirna atau tidak, itu perkara lain. Yang jelas, proses hukum di Indonesia tidak berjalan dengan baik. Buktinya, sampai sekarang, kasus ini dianggap tidak mutlak. Perdebatan masih terus terjadi, misteri masih terus tak terpecahkan. Motif pembunuhan, bukti-bukti yang kuat, serta argumentasi yang masuk akal sepertinya tidak menjadi menu utama. Kesannya, proses hukum yang sudah terlanjur bergulir, harus segera diberikan kesimpulan, tidak peduli bila kasus tersebut tidak terbukti secara terang-benderang, melainkan samar-samar.
Sekali lagi, saya mencoba menempatkan posisi saya di tengah-tengah, karena pendapat saya bukanlah bukti hukum. Jadi, apakah Jessica salah atau tidak, harusnya proses hukum yang benar yang berhak menentukan, bukan pendapat saya ataupun pendapat netizen lain.
Masalahnya, ironi terletak di sini.
Kita tahu bahwa proses hukum di Indonesia masih sangat diragukan. 'Gerakan' netizen tersebut adalah bukti dari ketidakpercayaan publik terhadap penegakan hukum. Maka, masyarakat merasa perlu untuk terlibat dan mengawal beragam proses hukum tersebut. Namun, di sisi lain, untuk memperbaiki proses hukum, publik kerap tidak memerhatikan proses hukum yang benar itu sendiri.
Proses hukum yang benar haruslah berdasarkan pada bukti-bukti yang kuat dan penyelidikan yang terbuka. Pada banyak kasus, kita tentu akan protes bila tersangka yang tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, atau dengan tuntutan serta bukti yang lemah, diganjar dengan hukuman berat.Â
Di sisi lain, kita tidak peduli bila figur tertentu yang juga dituntut dengan bukti-bukti yang lemah serta pengusutan yang berada di dalam keremangan diberikan hukuman yang juga berat serta tidak adil. Ini karena kita lebih percaya pada asumsi serta praduga.
Ironi inilah yang membuat proses hukum negara ini masih belum bisa menjadi baik. Karena, kita juga menyumbang atas kesalahan-kesalahan tersebut.
Pada kasus Jessica Wongso inilah saya melihat cermin penegakan hukum di Indonesia serta ironinya. Sekali lagi, terlepas dari apakah Jessica Wongso bersalah atau tidak, harusnya ini melalui sebuah proses hukum yang benar dan sesuai, bukannya pada seberapa besar perhatian masyarakat. Karena tidak peduli seberapa besar netizen memberikan dukungan, salah adalah salah, dan benar adalah benar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H