Namun, dia adalah sosok pemberani, jujur sekaligus bijak. Ia tahu mana yang boleh dan mana yang tidak. Ia juga tahu batasan. Ia juga tidak sombong dan merasa tinggi hati. Buktinya, ketika bertemu tokoh Dewa Ruci, ia merasa sangat kecil dan bersedia menerima 'kekalahan.'
Berbeda dengan yang disampaikan Bima, sejatinya kejujuran juga merupakan bagian dari etika. Jadi, jelas aneh bila mempertentangankan etika dengan kejujuran.
Amerika sendiri sekarang sedang kebingungan dengan serangan kaum woke yang tidak mengacuhkan sopan santun, perilaku dan cara berbicara. Padahal negara itu menganut liberalisme. Begitu juga negara-negara 'kaya akan pembangunan infrastruktur' semacam Kanada dan Jeman yang kini sibuk dengan pertentangan di ranah bahasa: penggunaan pronouns.
Sungguh, penggunaan bahasa termasuk etika, memang sangat penting.
Akhir kata, Bima patut diapresiasi karena begitu gamblang mengkritisi pemerintah Lampung dalam permasalahan infrastruktur. Buktinya, warganet banyak yang mendukungnya.
Namun, laksana Bima sang putra Pandu, Bima Yudho Saputro perlu sadar diri dan mawas diri. Ia juga perlu menerima kritikan, dan bukannya berperilaku tepat seperti pemerintah Lampung yang ia sendiri kritisi.
Banyak warganet yang sempat membuatnya resah karena menyebut dan merundungnya dengan sebutan 'bencong' karena perilaku dan cara berbicaranya. Bima mengatakan bahwa orang-orang tersebut lari dari fokus atau substansi dari kritik yang ia sampaikan.
Nah, Bima, bukankah memiliki adab dan etika berbahasa memang penting? Buktinya, Anda menyebut Megawati Soekarnoputri sebagai janda, yang mana tidak substansif. Janda-nya tidak ada hubungannya dengan apapun yang Anda kritisi, bukan? Itulah yang disebut dengan etika.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H