Tidak kalah menarik, Richard J. Gray II, menulis tentang superheroine yang hampir selalu dikaitkan dengan image pesona seksualitas dan 'hotness' mereka.Â
Para superhero perempuan selalu digambarkan dengan keseksian mereka secara heteroseksual. Ini menyebabkan seakan-akan film-film superhero adalah sebenarnya diperuntukkan untuk konsumsi para pria.Â
Namun,di esai berikutnya, Christina Adamou menyasar tema evolusi penggambaran maskulinitas di film-film superhero. Ia mengambil contoh film Hancock (2008) dan menganalisanya dengan pendekatan semiotika.
Di film tersebut, tidak hanya superheroine yang harus tunduk pada struktur masyarakat yang memaksa seorang perempuan untuk tetap inferior di bawah kaum laki-laki, seperti menjadi istri dan berada di rumah mengurus anak, tetapi juga laki-laki yang dilarang menunjukkan kelemahannya.Â
Maskulinitas Hancock sang superhero dalam film ini dipertanyakan, karena ia memiliki kelemahan, kehidupan yang tidak terhormat untuk seseorang dengan kemampuan istimewa serta perilaku yang kurang terpuji.
Bagian terakhir dari buku ini mengetengahkan tentang genre di dalam film-film superhero itu sendiri.Â
Namun, alih-alih sekadar menjelaskan aliran-aliran dalam jenis film ini, esai-esai di bagian ketiga buku ini malah lebih mencoba untuk menjelaskan tentang konsep hero (pahlawan) dan heroism (kepahlawanan).Â
Misalnya esai pertama oleh Vincent M. Gaine mengunakan Batman sebagai titik tolak penjelasan mengenai ciri-ciri superhero, baik fisik, kekuatan, ciri khas, maupun perspektif mereka tentang moral, kebaikan dan kejahatan atau hukum dan keadilan, misalnya.
Bagian kedua, menggunakan contoh film Spider-Man franchise dan Kick-Ass, Sang penulis esai, Justin S. Schumaker genre film superhero yang memokuskan pada perkembangan karakter dalam hal kedewasaan, tanggung jawab serta identitas.Â
Di sini, perjuangan pribadi seorang superhero didiskusikan lebih mendalam, terutama mengenai konsep heroisme yang dianutnya dan masalah-masalah psikologis atau kepribadian yang dialaminya.