Mohon tunggu...
Nikodemus Yudho Sulistyo
Nikodemus Yudho Sulistyo Mohon Tunggu... Dosen - Menulis memberikan saya ruang untuk berdiskusi pada diri sendiri.

Saya bergabung di Kompasiana sekedar untuk berbagi mengenai beragam hal. Saya menyenangi semua yang berhubungan dengan bahasa, sosial, budaya dan filosofi. Untuk konten yang berhubungan dengan kritik sastra, dapat juga ditonton di kanal YouTube saya yang bisa diklik di link profil.

Selanjutnya

Tutup

Book Artikel Utama

Menilik Kerangka Gender, Genre, dan Globalisasi yang Membentuk Sinema Bertajuk Superhero

21 Juli 2022   08:02 Diperbarui: 29 Juli 2022   04:30 1097
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto:  amazon.com 

Ia menjelaskan dengan dengan cara yang apik bahwasanya keempat film berlatar superhero tersebut mengartikulasikan dengan baik dilema yang dihadapi Amerika setelah serangan terorisme 11 September tahun 2001 (9/11). 

Penokohan para superhero pemberontak terhadap kekuasaan ini seakan menggambarkan bentuk protes dan pertentangan antara pemerintah atau otoritas dan masyarakatnya. 

Bruce Banner dan Hulk sebagai bentuk alter ego nya, menjadikan negara sebagai musuh rakyatnya sendiri. Otoritas dengan kekuatan militernya mendisriminasi warga dengan latar belakang kecurigaan ras dan agama serta menempatkannya dalam alasan national security. 

Sumber foto:  amazon.com 
Sumber foto:  amazon.com 

Lebih jauh Tony Stark sebagai Iron Man dan Jake Scully di dalam avatar suku Na'Vi nya jelas merupakan gambaran pertentangan yang dihadapi Amerika secara global terhadap tuduhan imperialisme modern yang lagi-lagi disembunyikan dibalik alasan keamanan nasional negara.

Paruh kedua dan ketiga bab yang sama, esai oleh Johannes Schhlegel dan Frank Habermann (halaman 29-45) serta Christine Muller (halaman 46-59) mempertanyakan ambiguitas tema good vs evil di dalam film-film superhero yang diwakili oleh tokoh Batman dalam Batman Begins (2005) dan The Dark Knight (2008). 

Setelah kejadian 9/11 yang sangat memukul Amerika itu, bangsa Amerika seakan ingin sekali memercayai nilai-nilai mengnai kebaikan yang pasti akan menang melawan kejahatan. 

Namun gambaran tentang batasan yang kabur antara yang baik dan yang jahat, kembali membuat mereka mempertanyakan segala posisi Amerika dalam kancah perpolitikan global.

Bagian kedua buku ini adalah ranah isu gender dan feminisme. Betty Kaklamanidou melihat bahwa film pun masih membawa serta konsep patriarkal dalam Mythos, yang menurut Roland Barthes, "which is constructed to uphold its hegemonic interests and perpetuated via the widely popular film medium," (Halaman 62-63). 

Ia kemudian mencoba menganalisa lintasan para superhero perempuan (superheroine) di empat film X-Men: X-Men (2000), X2: X-Men United (2003), X-Men: The Last Stand (2006), dan X-Men Origins: Wolverine (2009).

Walaupun memiliki kemampuan super yang luar biasa, tetap saja dilucuti tidak hanya kekuatannya, namun juga presence-nya di dalam film-film tersebut oleh, tentu saja, kekuatan patriarkal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun