Mohon tunggu...
Nikodemus Yudho Sulistyo
Nikodemus Yudho Sulistyo Mohon Tunggu... Dosen - Menulis memberikan saya ruang untuk berdiskusi pada diri sendiri.

Saya bergabung di Kompasiana sekedar untuk berbagi mengenai beragam hal. Saya menyenangi semua yang berhubungan dengan bahasa, sosial, budaya dan filosofi. Untuk konten yang berhubungan dengan kritik sastra, dapat juga ditonton di kanal YouTube saya yang bisa diklik di link profil.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tanjidor dan Keroncong adalah Budaya Musik Asing? Sebuah Refleksi tentang Kesempatan dan Kemerdekaan bagi Generasi Muda untuk Menciptakan Budaya

20 Juni 2022   18:31 Diperbarui: 20 Juni 2022   19:02 481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari yang lalu tanpa sengaja saya menonton sebuah acara di televisi mengenai salah satu sejarah seni Betawi yang dikenal dengan nama Tanjidor. Dijelaskan di dalam program televisi tersebut bahwa saat ini kesenian Betawi tersebut sudah jarang ditemukan dan keberadaannya hanya bisa dilihat pada hajatan-hajatan besar warga Betawi di Jakarta. 

Di dalam acara di televisi tersebut juga dikeluhkan keberlangsungan budaya ini yang tidak hanya mulai luntur, melainkan mungkin akan segera hilang ditelan zaman. Salah satu alasannya adalah karena generasi muda yang sudah enggan untuk melanjutkan kesenian tersebut.

Kaum muda memang secara alami selalu dikaitkan dengan semangat pembaharuan sekaligus di saat yang sama diberikan beban untuk terus membawa serta menjaga nilai-nilai budaya dan warisan generasi sebelumnya. Hal ini lumrah adanya mengingat generasi muda adalah orang-orang yang masih memiliki tenaga dan stamina, semangat dan idealisme serta tentu saja zamannya sendiri. Sebagai akibatnya, harapan dan kekecewaan kerap menghiasai hubungan antara generasi.

Sebuat saja misalnya generasi baby boomers yang lahir di kurun waktu tahun 1946-1964. Generasi ini kerap sekali disebut sebagai orang-orang kolot, kuno, konservatif dan kaku. Bukan tanpa alasan, ini karena baby boomers dilahirkan setelah masa peperangan yang melanda dunia. Masa itu terjadi reformasi besar-besaran di berbagai negara, sehingga kondisi lingkungan dalam hal sosial, politik dan ekonomi masih belum stabil dan jelas. Akibatnya, generasi ini dididik dengan sangat keras dan disiplin. Mereka diciptakan bermental baja dan berpegang teguh pada loyalitas dan dedikasi yang tinggi (Sumber).

Bisa dipahami cara generasi kakek nenek kita itu memandang generasi setelahnya cukup berbeda. Mereka tidak bisa menerima orang-orang yang berpendirian lemah dan tentunya orang-orang yang terlalu bebas dan terbuka.

Contoh lain lagi adalah saya sendiri yang merupakan kelahiran tahun 1982 dan masuk ke dalam kategori Generasi Y atau Millenials (rentang tahun 1981-1995), yang merasakan banyak perubahan signifikan di bidang teknologi dan ekonomi dan tumbuh di masa peralihan. Generasi ini lebih terbuka dan cenderung lebih berani menyampaikan pendapat karena munculnya teknologi Internet. 

Generasi Y bisa dikatakan lebih ekspresif, kreatif dan memiliki kepercayaan diri dibanding generasi sebelumnya yang lebih kaku dan tegas. Namun, ini bukan berarti generasi Y tidak menemukan permasalahan dengan generasi berikutnya, yaitu Generasi Z dan Alpha yang sudah terfasilitasi dengan teknologi informasi sedari lahir.

Pola pikir generasi Z yang cenderung terkesan lebih praktis, instan dan effortless dikarenakan dukungan teknologi yang telah hadir sedari mereka dilahirkan, kerap membuat Generasi Y frustasi karena tidak menemukan titik temu yang pas dalam mengomunikasikan pemikiran mereka.

Menilik dari contoh-contoh tersebut di atas, generasi penerus yang lebih muda kerap dijadikan sasaran tuduhan sebagai kaum yang tidak loyal pada nilai-nilai yang dianut sebelumnya, termasuk di dalamnya adalah budaya, kebiasaan bahkan kepercayaan. Generasi di berbagai zaman selalu dianggap sebagai generasi yang tidak lagi menjaga tradisi serta ritual peninggalan agung masa lampau. Generasi lebih tua yang mengagungkan kebudayaan dan kebiasaan tertentu di masanya acapkali menunjukkan kekecewaan pada generasi sesudahnya.

Lalu, apakah memang generasi muda dan generasi penerus memiliki kecenderungan untuk melupakan nilai-nilai tradisi dan luhur dari leluhur mereka?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun