Mohon tunggu...
Nikodemus Yudho Sulistyo
Nikodemus Yudho Sulistyo Mohon Tunggu... Dosen - Menulis memberikan saya ruang untuk berdiskusi pada diri sendiri.

Saya bergabung di Kompasiana sekedar untuk berbagi mengenai beragam hal. Saya menyenangi semua yang berhubungan dengan bahasa, sosial, budaya dan filosofi. Untuk konten yang berhubungan dengan kritik sastra, dapat juga ditonton di kanal YouTube saya yang bisa diklik di link profil.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Algoritma Minyak Goreng, Bagaimana Teori Komunikasi Media 'Uses and Gratification' Bekerja

5 April 2022   10:31 Diperbarui: 5 April 2022   11:11 1806
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pandangan teori klasik mengenai media (traditional media effects theory) menempatkan fokus pada konsep 'pengaruh media pada publik', dimana menjelaskan bahwa media memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk mempengaruhi publik. Dalam hal ini, media dapat dilihat dari perspektif positif maupun negatif.

Dalam hal positif, media dianggap mampu 'mendidik' masyarakat dengan informasi dan berita yang berkualitas, dapat dipercaya dan faktual. Namun begitu, media di masa lampau ini juga kerap menjadi sarana dan kendaraan politik, terutama di negara dengan sistem tirani dan otoriter, untuk menyebarkan propaganda dan kebohongan demi mempertahankan kekuasaan dan menebar ancaman serta rasa takut.

Namun, menurut Severin dan Tankard dalam buku Communication Theories: Origins, Methods and Uses in the Mass Media, teori komunikasi media mutakhir menekankan pada pilihan publik terhadap satu jenis media dan tidak mengacuhkan media yang lain. Dalam hal ini publik sekarang telah memiliki hak, kemampuan dan kekuasaan untuk menentukan pilihan terhadap media berdasarkan pada kebutuhan, ketertarikan dan kepuasan mereka sendiri.

Ini berarti publik tidak didikte oleh media arus utama atau dipaksa menerima berita begitu saja. Publik tidak lagi sekadar menjadi pemirsa dan penerima informasi pasif seperti pada masa kejayaan surat kabar, majalah dan tabloid, radio dan televisi. Saat ini, masyarakat dapat merespon sebuah berita, informasi bahkan merequest kabar tertentu. Teori ini disebut sebagai pendekatan Uses and Gratification, Kegunaan dan Kepuasan.

Sebagai contoh, masyarakat kini dapat membuat sebuah berita menjadi viral atau trending dengan beramai-ramai mengunggah tautan berita, menulis story dan feed di media sosial, atau menulis artikel di beragam platform. Isu yang trending tersebut menjadi kebutuhan akan berita dan informasi bagi publik, sehingga demand atau tuntutan akan informasi yang sejenis akan sebaliknya direspon oleh media dengan memberikan berita tentang isu yang serupa lebih banyak lagi.

Fenomena kelangkaan minyak goreng terus menjadi fokus dan pusat perhatian publik. Media bisa dikatakan merespon tidak hanya isu kelangkaan minyak goreng tersebut, namun juga perilaku dan reaksi publik. Masyarakat yang berkomentar di beragam platform media, baik media arus utama, formal maupun media sosial. Mayarakat membutuhkan berita tentang minyak goreng, bahkan cenderung menikmatinya.

Sebagai hasilnya, menurut saya terciptalah sesuatu yang saya sebut asal-asalan dengan istilah algoritma minyak goreng.

Masyarakat memilih berita tentang minyak goreng, sehingga internet menawarkan berita yang sama atau serupa sesuai dengan algoritmanya. Misalnya, di media sosial, ketika kita kerap membaca beragam artikel atau akun mengenai kegemaran akan tanaman hias, maka media tersebut akan menawarkan lebih banyak artikel dan akun serupa.

Algoritma ini juga bekerja dalam pikiran dan psikologis masyarakat, seperti yang dijelaskan teori Uses and Gratification ini. Kebutuhan psikologis seseorang terhadap suatu berita akan otomatis membuat orang tersebut mencari berita yang sama.

Kelangkaan minyak goreng adalah isu yang dibutuhkan oleh seseorang. Maka, ia akan tidak mengacuhkan berita-berita, katakanlah, tentang ketersediaan minyak goreng yang telah stabil di beberapa daerah, atau harga yang sebenarnya cukup normal untuk satu liter minyak goreng. Ibu dan istri yang mengeluh tentang kelangkaan minyak goreng, tentu tidak membuka pikiran tentang berita, misalnya, tentang ibu-ibu atau istri-istri lain yang melakukan panic buying di masa awal penyetaraan harga minyak goreng sehingga menyumbangkan kelangkaan minyak goreng itu sendiri. Ibu-ibu dan istri-istri yang kemudian juga mengeluhkan naiknya harga minyak goreng ketika tidak lagi langka, tentu tidak akan mencari dan membaca berita, sebagai contoh, tentang perbandingan pengeluaran konsumsi rokok yang dibeli para suami per hari dengan harga minyak goreng per liter dalam penggunaannya per bulan. Ini karena memang berita semacam itu tidak menjadi kebutuhan dan kenikmatan mereka.

Memang, masyarakat berhak tahu dan informed terhadap berita dan fakta. Masyarakat juga sekarang berhak dan mampu merespon dan bereaksi terhadap berbagai isu dan fenomena yang terjadi di sekitar, baik lokal, nasional bahkan global. Bahkan banyak kasus menunjukkan bahwa reaksi publik yang direspon media mampu mengubah kebijakan pemerintah yang dianggap tidak adil dan merugikan, membawa tindakan kejahatan seseorang atau kelompok ke meja peradilan, atau mengubah jalannya takdir bangsa.

Namun, algoritma minyak goreng ini saya rasa juga berlaku di bidang lain. Contohnya isu-isu yang lebih sensitif dan mengkhawatirkan. Sebut saja agama, atau secara garis besar, SARA.

Ketika seseorang sudah terekspos dengan berita-berita negatif tentang satu tema atau isu tertentu, maka sudah menjadi kebutuhan baginya untuk mencari berita tentang kenegatifan isu tersebut. Algoritma psikologisnya secara otomatis bekerja. Sedangkan algoritma media di internet juga akan merespon dengan menawarkan dan memberikan headline atau topik berita dan pembahasan yang serupa.

Bukankah ini jadi mengkhawatirkan?

Masyarakat akan cenderung menikmati algoritma yang mengatur mereka untuk memilih berita, isu dan media yang mereka butuhkan dan sukai. Sehingga berita positif atau hal-hal lain yang memberikan pendidikan dan pengetahuan yang berguna akan luput dari perhatian kita.

Hal yang membuat saya lebih khawatir adalah bahwasanya media menjadi sekadar alat pemuas manfaat atau kegunaan dan kebutuhan publik semata dan mengambil untung sebesar-besarnya dari hal tersebut. Uses and Gratification bekerja secara sempurna, dan media terus menawarkan berita sesuai algoritma, bukannya jurnalisme secara etika dan selayaknya.

Saya harap tidak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun