Memang, masyarakat berhak tahu dan informed terhadap berita dan fakta. Masyarakat juga sekarang berhak dan mampu merespon dan bereaksi terhadap berbagai isu dan fenomena yang terjadi di sekitar, baik lokal, nasional bahkan global. Bahkan banyak kasus menunjukkan bahwa reaksi publik yang direspon media mampu mengubah kebijakan pemerintah yang dianggap tidak adil dan merugikan, membawa tindakan kejahatan seseorang atau kelompok ke meja peradilan, atau mengubah jalannya takdir bangsa.
Namun, algoritma minyak goreng ini saya rasa juga berlaku di bidang lain. Contohnya isu-isu yang lebih sensitif dan mengkhawatirkan. Sebut saja agama, atau secara garis besar, SARA.
Ketika seseorang sudah terekspos dengan berita-berita negatif tentang satu tema atau isu tertentu, maka sudah menjadi kebutuhan baginya untuk mencari berita tentang kenegatifan isu tersebut. Algoritma psikologisnya secara otomatis bekerja. Sedangkan algoritma media di internet juga akan merespon dengan menawarkan dan memberikan headline atau topik berita dan pembahasan yang serupa.
Bukankah ini jadi mengkhawatirkan?
Masyarakat akan cenderung menikmati algoritma yang mengatur mereka untuk memilih berita, isu dan media yang mereka butuhkan dan sukai. Sehingga berita positif atau hal-hal lain yang memberikan pendidikan dan pengetahuan yang berguna akan luput dari perhatian kita.
Hal yang membuat saya lebih khawatir adalah bahwasanya media menjadi sekadar alat pemuas manfaat atau kegunaan dan kebutuhan publik semata dan mengambil untung sebesar-besarnya dari hal tersebut. Uses and Gratification bekerja secara sempurna, dan media terus menawarkan berita sesuai algoritma, bukannya jurnalisme secara etika dan selayaknya.
Saya harap tidak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H