Pandangan teori klasik mengenai media (traditional media effects theory) menempatkan fokus pada konsep 'pengaruh media pada publik', dimana menjelaskan bahwa media memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk mempengaruhi publik. Dalam hal ini, media dapat dilihat dari perspektif positif maupun negatif.
Dalam hal positif, media dianggap mampu 'mendidik' masyarakat dengan informasi dan berita yang berkualitas, dapat dipercaya dan faktual. Namun begitu, media di masa lampau ini juga kerap menjadi sarana dan kendaraan politik, terutama di negara dengan sistem tirani dan otoriter, untuk menyebarkan propaganda dan kebohongan demi mempertahankan kekuasaan dan menebar ancaman serta rasa takut.
Namun, menurut Severin dan Tankard dalam buku Communication Theories: Origins, Methods and Uses in the Mass Media, teori komunikasi media mutakhir menekankan pada pilihan publik terhadap satu jenis media dan tidak mengacuhkan media yang lain. Dalam hal ini publik sekarang telah memiliki hak, kemampuan dan kekuasaan untuk menentukan pilihan terhadap media berdasarkan pada kebutuhan, ketertarikan dan kepuasan mereka sendiri.
Ini berarti publik tidak didikte oleh media arus utama atau dipaksa menerima berita begitu saja. Publik tidak lagi sekadar menjadi pemirsa dan penerima informasi pasif seperti pada masa kejayaan surat kabar, majalah dan tabloid, radio dan televisi. Saat ini, masyarakat dapat merespon sebuah berita, informasi bahkan merequest kabar tertentu. Teori ini disebut sebagai pendekatan Uses and Gratification, Kegunaan dan Kepuasan.
Sebagai contoh, masyarakat kini dapat membuat sebuah berita menjadi viral atau trending dengan beramai-ramai mengunggah tautan berita, menulis story dan feed di media sosial, atau menulis artikel di beragam platform. Isu yang trending tersebut menjadi kebutuhan akan berita dan informasi bagi publik, sehingga demand atau tuntutan akan informasi yang sejenis akan sebaliknya direspon oleh media dengan memberikan berita tentang isu yang serupa lebih banyak lagi.
Fenomena kelangkaan minyak goreng terus menjadi fokus dan pusat perhatian publik. Media bisa dikatakan merespon tidak hanya isu kelangkaan minyak goreng tersebut, namun juga perilaku dan reaksi publik. Masyarakat yang berkomentar di beragam platform media, baik media arus utama, formal maupun media sosial. Mayarakat membutuhkan berita tentang minyak goreng, bahkan cenderung menikmatinya.
Sebagai hasilnya, menurut saya terciptalah sesuatu yang saya sebut asal-asalan dengan istilah algoritma minyak goreng.
Masyarakat memilih berita tentang minyak goreng, sehingga internet menawarkan berita yang sama atau serupa sesuai dengan algoritmanya. Misalnya, di media sosial, ketika kita kerap membaca beragam artikel atau akun mengenai kegemaran akan tanaman hias, maka media tersebut akan menawarkan lebih banyak artikel dan akun serupa.
Algoritma ini juga bekerja dalam pikiran dan psikologis masyarakat, seperti yang dijelaskan teori Uses and Gratification ini. Kebutuhan psikologis seseorang terhadap suatu berita akan otomatis membuat orang tersebut mencari berita yang sama.
Kelangkaan minyak goreng adalah isu yang dibutuhkan oleh seseorang. Maka, ia akan tidak mengacuhkan berita-berita, katakanlah, tentang ketersediaan minyak goreng yang telah stabil di beberapa daerah, atau harga yang sebenarnya cukup normal untuk satu liter minyak goreng. Ibu dan istri yang mengeluh tentang kelangkaan minyak goreng, tentu tidak membuka pikiran tentang berita, misalnya, tentang ibu-ibu atau istri-istri lain yang melakukan panic buying di masa awal penyetaraan harga minyak goreng sehingga menyumbangkan kelangkaan minyak goreng itu sendiri. Ibu-ibu dan istri-istri yang kemudian juga mengeluhkan naiknya harga minyak goreng ketika tidak lagi langka, tentu tidak akan mencari dan membaca berita, sebagai contoh, tentang perbandingan pengeluaran konsumsi rokok yang dibeli para suami per hari dengan harga minyak goreng per liter dalam penggunaannya per bulan. Ini karena memang berita semacam itu tidak menjadi kebutuhan dan kenikmatan mereka.