Binatang liar dan segala jenis mahluk tak beradab seperti raksasa serta jin, kuntilanak, genderuwo, atau mahluk halus lainnya tinggal dan hidup di wilayah ini dengan menggunakan hukum rimba.
Dalam wicarita pewayangan, kata alas yang merujuk pada hutan, banyak digunakan. Kata alas yang berarti "tanah luas, tidak digarap manusia dan penuh pepohonan besar" juga memiliki versi bahasa Jawa Krama Inggil, yaitu wana.Â
Dalam kisah pewayangan dengan lakon Babad Wanamarta, misalnya. Para Pendawa diusir ke sebuah hutan, yaitu Wanamarta, yang ditinggali oleh jin, gandarwa dan para butha, atau raksasa.Â
Ada juga ungkapan penggambaran sebuah hutan yang janma mara mati, sato mara mati yang berarti kurang lebih baik manusia maupun binatang bila masuk ke dalam hutan tersebut pasti mati.Â
Ungkapan-ungkapan yang digunakan dalam pewayangan ini juga digunakan di dalam kehidupan masyarakat yang sebenarnya lahir ketika pulau Jawa saat itu masih luas dan memiliki hutan yang juga lebat, yaitu paling tidak sebelum abad ke-18 Masehi.
Luas pulau Jawa adalah 129.600.71 km2 (12.960.071 ha). Pada abad ke-16 sampai abad ke-18 Masehi, hutan di pulau Jawa diperkirakan masih seluas 9 juta hektar. Ini berkurang jauh pada tahun 1980-an menjadi 0.97 juta hektar saja atau 7% dari luas pulau Jawa.Â
Dengan kenyataan ini, apakah mungkin bahwa ketiadaan hutan di pulau Jawa lagi itu membuat konsep alas gung liwang liwung dan janma mara mati, sato mara mati dipindahkan ke pulau lain, dalam hal ini adalah Kalimantan, yang dengan kurangnya informasi ditambah ketidakpedulian yang akut memperkuat citra buruk dan salah tersebut?Â
Apakah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara seperti yang sekarang ini kita masih bisa mentoleransi sikap, sifat dan pemikiran sempit dan tidak acuh seperti yang ditunjukkan Edy Mulyadi?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI