Politik Luar Negeri (PLN) sebuah negara adalah dengan melihat faktor kepemimpinan. Dalam kajian PLN disebut sebagai variabel Idiosinkratik. Harus dicatat bahwa kemimpinan hanya salah satu faktor yang mempengaruhi kebijakan luar negeri sebuah negara bangsa. Tulisan ini menganalisis pengaruh faktor kepemimpinan terhadap agenda kebijakan luar negeri Indonesia di bawah SBY dan Jokowi. Setelah itu, memperkirakan pengaruh gaya kemimpinan terhadap PLN Indonesia di bawah Prabowo Subianto.
Salah satu pendekatan dalam memahami Faktor kepemimpinan dalam  Politik Luar Negeri
Mereka yang menganalisis PLN sebuah negara dari perspektif individu bilang bahwa elit yang memimpin punya pengaruh besar pada kebijakan luar negeri.  Mintz dan  DeRouen Jr ( 2010, 114-120) menyebut  tiga elemen  idiosinktantik kemimpinan yang mempengaruhi PLN  yakni kepribadian, gaya memimpin, dan peta kognitif.
Salah satu faktor penting adalah gaya kepimpinan yang bisa diamati melalui cara pemimpin mengambil keputusan, tindakan, kebijakan yang diambil. Gaya kepemimpinan ini sangat dipengaruhi oleh pengetahuan, latar belakang pendidikan, pengalaman personal dan profesional dan cara mereka memandang dunia internisonal.
Secara umum, dua gaya kepemimpinan mempengaruhi PLN (Hernmann, 201). Pertama, gaya pragamatis yang menekankan pada pencapaian tujuan nasional. Tipe pertama cenderung berpikir dengan logika konsekuensi. Pilihan kebijakan dan tindakan ditentukan oleh perhitungan apa konsekuensi pilihan itu. Menguntungkan atau merugikan. Lebih besar manfaat atau mudharatnya. Dalam politik luar negeri, kebijakan dihitung berdasarkan apa keuntungan dan kerugian bagi negara. Â
Gaya kepemimpinan tipe pertama ini melihat politik internasional sebagai ruang-ruang kemungkinan untuk mengejar kepentingan nasional dalam bidang politik, keamanan, ekonomi atau kepentingan lain. Strategi politik yang diterapkan  berbeda-beda berdasarkan keterbatasan informasi dan hambatan politik internal atau eksternal. Karena itu, pilihan kebijakan luar negeri cenderung sangat pragmatis dan melihat manfaat langsung.
Tipe kedua adalah yang bersifat strategis dan berorientasi pada konteks. Tipe kedua menggunakan logika kesesuaian. Apa konteks kebijakan yang dihadapi. Pilihan kebijakan apa yang sesuai dengan konteks itu. Pertimbangan-pertimbangan strategi jangka menengah dan panjang menjadi dasar pilihan kebijakan. Dalam politik luar negeri, konteks regional dan global apa yang dihadapi dan mana kebijakan yang sesuai dengan situasi konteks itu. Sasarannya tetap manfaat nasional, meski bukan berupa keuntungan langsung. Tujuannya adalah ikut menciptakan lingkungan eksternal yang menguntungkan tujuan-tujuan nasional dalam jangka panjang.
Dalam aspek kedua ini, misalnya, seorang presiden sekuat tenaga  menggunakan sumber daya ekonomi politik menciptakan stabilitas dan perdamaian regional. Manfaat ekonomi langsung tidak terlihat, tetapi dalam jangka panjang, situasi regional yang damai dan stabil melindungi eksistensi dan kedaulatan negara, mendorong perdagangan dan investasi. Situasi ini akhirnya memberi manfaat pada negara-negara dalam kawasan.
 SBY: Pendekatan strategis dan kekuatan Normatif Indonesia
PLN Indonesia di era SBY memiliki ciri yang khas, yakni sangat high profile. Sementara prinsip dasar tetap bebas aktif, SBY berupaya menempatkan Indonesia sebagai Normatif Power (kekuatan normatif) di panggung global. Bersama dengan negara-negara besar lain, SBY ikut mengendalaikan agenda dan arah dari  lalu lintas berbagai  isu internasional.
Sementara kepentingan ekonomi nasional tetap merupakan agenda penting, Indonesia di bawah SBY aktif dalam  mendorong perhatian masyarakat global pada masalah lingkungan, pelanggaran hak asasi, demokrasi, stabilitas ekonomi, terorisme, kejahatan transnasional, perdamaian dan keamanan. Semboyan SBY "Thousand Friends, Zero Enermy" diterjemahkan ke dalam upaya membangun kerjasama luar negeri ke berbagai kawasan, bilateral dan multilateral, global dan regional.