Mohon tunggu...
Nikolaus Loy
Nikolaus Loy Mohon Tunggu... Dosen - Dosen HI UPN Veteran Yogyakarta

Menulis artikel untuk menyimpan ingatan. Menulis puisi dan cerpen untuk sembuh. Suka jalan-jalan ke gunung dan pantai. Suka masak meski kadang lebih indah warna dari rasa.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Indonesia: Negara dan Kedaulatan Sumber Daya Energi

11 Maret 2024   12:52 Diperbarui: 12 Maret 2024   10:50 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keamanan energi berurusan dengan ketersedian pasokan dengan harga terjangkau. Untuk itu, keamanan energi membutuhkan teknologi untuk mengakses sumber, memurnikan dan mendistribusikan energi; pengolahan untuk mengurangi dampak lingkungan; mengubah bentuk akhir energi agar mudah diterima secara sosial dan budaya. 

Dalam tulisan sebelumnya, saya membahas peran pasar dalam keamanan energi. (https://www.kompasiana.com/nikoaus47817/65e66cfcde948f1b8800f797/mekanisme-pasar-dan-keamanan-energi). Kedaulatan energi memiliki makna lebih luas. Negara memiliki peran sentral dalam membangun kedaulatan energi

Kedaulatan Energi

Kedaulatan energi adalah salah satu dimensi  'resource nationalism' yakni kedaulatan sebuah bangsa atas  sumber daya. Kedaulatan energi berhubungan ketahanan energi nasional, yakni kemampuan untuk menjamin pasokan energi dengan harga terjangkau,  disertai dengan kapasitas menahan goncangan ekternal.

Pada saat harga-harga energi global mengalami kenaikan tajam, cadangan energi nasional harus mampu meredam dampak negatif goncangan harga tersebut. Pembentukan 'strategic petroleum reserve' (cadangan minyak strategis) adalah bagian upaya menjamin ketahanan energi.

Kedaulatan energi  memampukan  pemerintah menyediakan pasokan dan sekaligus menahan goncangan ektsernal. Terminilogi ini memiliki muatan politik karena berkaitan dengan pertahanan, otonomi negara atau kebutuhan masyarakat terhadap  energi.

Ada lima elemen yang harus dipenuhi agar sebuah negara memiliki kedaulatan energi: (1)  akses individu dan masyarakat, termasuk negara, pada pasokan energi yang stabil dengan harga terjangkau; (2) penguasaan atas sumber energi fosil atau energi baru dan terbarukan; (3) otonomi nasional dalam pengelolaan atas sumber-sumber energi tersebut; (4) penguasaan pengetahuan dan teknologi untuk pemetaan, eskplorasi, eskploitasi, pengolahan dan distribusi energi kepada masyarakat. (5) penguasaan keempat elemen tersebut memampukan negara dan komunitas menahan goncangan ekternal, mengurangi ketergantungan pada impor energi.

Dari sisi pertahanan dan keamanan,  kedaulatan energi memberi ruang  sebuah negara untuk  mengoptimalkan  sumber daya energi demi tujuan pertahanan dan keamanan nasional. Pemilikan, kemampuan mengelola, penguasaan teknologi energi, cadangan energi nasional menjadi elemen kunci dalam memobilisasi kekuatan pertahanan.

Di masa damai, cadangan energi menjamin kesiapan alat utama sistem senjata untuk mencegah kemungkinan serangan militer. Pada mesa perang, kedaulatan energi dibutuhkan untuk menggerakan alat utama sistem senjata demi mempertahankan kedaulatan teritorial. Energi menjadi elemen kunci dalam sebuah perang singkat atau berlangsung dalam waktu yang lama. 

Negara dan Kedaulatan Energi

Energi berhubungan dengan strategi pembangunan, kesejahteraan sosial. Energi juga menjadi fondasi penting pertahanan-keamanan dan politik internasional. Negara-negara dengan sumber daya energi besar, khususnya, migas mampu mengendalikan negara lain dan menentukan arah politik internasional.

Karena itu, beberapa negara menerapkan prinsip kedaulatan sumber daya dan menolak menerapkan mekanisme pasar secara murni. Demi kedaulatan energi, negara melakukan berbagai intervensi. Pertama, di negara-negara produsen, pemerintah menempatkan sumber daya energi, khususnya migas,  dalam penguasaan negara. Langkah ini dilakukan oleh Arab Saudi, Iran, Rusia dan Venezuela.

Melalui perusahaan negara, pemerintah terlibat secara langsung dalam eksplorasi, produksi dan distribusi energi. Intervensi negara memiliki dua tujuan sekaligus yakni (a) menjamin pasokan energi;  dan (b) memastikan bahwa negara memperoleh pendapatan lebih besar dari hasil eskploitasi dan penjualan produk energi terutama migas.

Tujuan kedua didasarkan pada realitas bahwa rezeki migas adalah sumber pembiayaan pembangunan dan kesejahteraan sosial. Alasan ini yang mendorong Vladimir Putin mengontrol ketat perusahaan migas Rusia setelah berkuasa. Saat   pembukaan terminal pemboran laut dalam oleh perusahaan migas Rusia, Rosneft, 15 Juni 2012, Putin mengatakan bahwa  "sektor migas Rusia, tanpa ragu, adalah kekuatan pendorong seluruh ekonomi nasional" (en.kremlin.ru).

Kedua, memperkuat perusahaan migas nasional dalam mengakses energi global. Negara-negara konsumen utama mengadopsi strategi ini. Melalui 'diplomasi minyak', importir utama seperti Cina mendorong perusahaan migas nasional menguasai sumur-sumur minyak di negara produsen. Untuk mendukung operasi perusahaan migas nasional di luar negeri, pemerintah menyediakan informasi, terlibat dalam negosiasi langsung, memberi perlindungan politik, memberi bantuan militer dan pembangunan kepada negara dengan potensi minyak dan gas.

Ketika, mendorong percepatan diversifikasi energi. Keamanan energi membutuhkan bauran energi nasional di mana sebuah negara tidak bergantung pada satu jenis energi. Bauran mengharuskan kombinasi antara energi fosil dan EBT (energi baru dan energi terbarukan).

Untuk itu, negara harus berperan sentral dalam peningkatan bauran dengan mendorog transisi e ergi. Transisi adalah proses mahal. Pemerintah berperan dalam pembentukan regulasi yang menguntungkan investasi di sektor EBT, penyediaan pasar EBT, memberikan insentif bagi pengusaha  dan konsumen EBT, mendorong transfer teknologi

Indonesia:  Kedaulatan  Energi dan Praktek Pasar

Dasar ideologi kedaulatan sumber daya Indonesia adalah sila keadilan sosial Pancasila. Terjemahan konstitusionalnya adalah pasal 33 UUD 1945, ayat 3 yang berbunyi "bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat".

Pasal ini mengandung tiga hak negara: 'Mineral rights'  menyangkut penguasaan oleh rakyat dan negara atas mineral dan bahan galian dalam perut bumi Indonesia. Hak ini tidak dipunyai oleh daerah atau individu. 'Mining Rights', hak penambangan oleh negara, diwakili pemerintah dengan tujuan kesejahteraan rakyat. 'Economic Rigths'  merupakan hak ekstraktif yang ditujukan untuk memperoleh manfaat ekonomi melalui aktivitas perusahaan negara. (Syeirazi, 2009).

Di Indonesia, terjemahan kebijakan kedaulatan atas sumber energi berbeda dari pemerintahan yang satu dan yang lain. Di bawah presiden Sukarno, negara mengambil alih penguasaan dan pengelolaan sumber energi dari perusahaan asing. 

Antara tahun 1959-1963, pemerintah menasionalisasi perusahaan-perusahaan minyak asing khususnya Belanda. Salah satunya adalah Nederlandsche Indische Aardolie Maatschaappij (NIAM) yang dinasionalisasi tahun 1958, yang kemudian diganti namanya menjadi PT Permnindo (Pertambangan Minyak Indonesia).

Perusahaan minyak asing AS, Inggris dan negara lain tetap beroperasi tetapi harus tunduk pada kontrol pemerintah. Proyek politik ganyang Malaysia mendorong pemerintah lebih ketat mengawasi perusahaan migas asing. Kebijakan ini diterjemahkan dalam Keputusan Kabinet Dwikora No. Aa/D/26/1965 yang menempatkan Caltex, Shell dan Stanvac di bawah pengawasan sementara Pemerintah Republik Indonesia. Alasan Pertahanan dan pembangunan berada di balik pengawasan tersebut.

Dalam surat kepada Caltex, Stanvac, PAN AM dan Shell,  19 Maret 1967,  Wakil Perdana Menteri 3, Chairul Saleh menulis bahwa "Pemerintah menyadari tanggungjawabnya dan mengakui vitalnya peran industri perminyakan dalam pembangunan dan pertahanan negara. Khususnya pada tahap ini ada kebijakan konfrontasi kami dengan proyek "Malaysia". Pemerintah harus melindungi kepentingannya dan pada saat bersamaan, dalam derajat tertentu, memenuhi aspirasi dan potensi dari rakyat"

Kontrol negara tetap kuat di bawah pemerinntan Suharto.  Sementara UU No.1/1967 membuka invetasi asing di sektor lain, sektor migas tetap dalam kontrol negara. Pasal 7 UU tersebut mengatur pertambangan migas perusahaan asing melalui kontrak karya. Kontrol negara atas migas diperkuat UU No. 8/1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Negara (PERTAMINA).

UU baru ini  memperkuat penguasaan negara atas eksplorasi, ekploitasi, penyulingan, distribusi dan pemasaran migas. Poin a bagian pertimbangan UU ini menyebutkan bahwa "minyak dan gas bumi adalah bahan galian strategis, baik untuk perekonomian negara maupun untuk kepentingan pertahanan dan keamanan nasional".

Negara diwakili Pertamina. Dengan demikian, kedudukan Pertamina di atas perusahaan asing. Dalam pidato peresmian rumah sakit Pertamina, 6 Januari 1972, Suharto memberi dua tugas pada Pertamina. Pertama,  menjamin keamanan energi melalui penyediaan pasokan bahan bakar. Kedua, menghasilkan pemasukan untuk membiayai pembangunan.

Semua berakhir pasca krisis 1998, saat dilakukan liberalisasi besar-besaran di sektor migas. Sebagai bagian syarat bantuan keuangan IMF, pemerintah menjanjikan melakukan reformasi sektor migas dalam Memorandum of Economic and Financial Policies (MEFP) yang dikirim ke IMF, 20 Januri 2000. Artikel 80 menjelaskan bahwa pemerintah berkomitmen  reformasi Pertamina; mengizinkan harga produk domestik mencerminkan tingkat harga internasional; membangun kerangka kebijakan yang koheren dan sehat untuk mempromosikan pola penggunaan energi domestik yang efisien dan berkelanjutan.

UU Migas No.22/2001 mengubah total posisi Pertamina menjadi sama dengan perusahaan swasta. Kontrak dengan perusahaan asing migas tidak lagi melalui Pertamina, tetapi dengan Badan Pengelola Migas. Badan ini berubah menjadi SKK Migas setelah pengajuan judicial review oleh beberapa organisasi sosial.

Liberalisasi berdampak pada keamanan pasokan. Sebagai perusahaan swasta, Pertamina harus menerapkan prinsip 'budget constraint' (hambatan anggaran) di mana ukuran pendapatan menjadi dasar keputusan investasi baru. APBN hanya dipakai untuk membayar kewajiban domestik yang dibebankan pemerintah  yakni pengadaan dan penyaluran  distribusi BBM.

Dampaknya adalah terhambatnya kegiatan eksplorasi sumber migas baru karena prinsip kehati-hatian anggaran. Resiko kegagalan eksplorasi dan eksplotasi harus diperhitungkan betul sehingga tidak memboroskan keuntungan yang ditabung. Sebelumnya sebagai perusahaan negara., kerugian Pertamina dapat disubsidi dengan APBN.

Di tengah keengganan perusahaan asing masuk ke sektor hulu karena biaya eksplorasi besar, seharusnya Pertamina dapat ditugaskan dengan sokongan APBN. Dukungan finansial ini tidak lagi bisa dilakukan karena perubahan kedudukan Pertamina. Dampaknya adalah kemandegan sektor hulu yang direfleksikan stagnannya angka lifting minyak pasca tahun 2000. Pasokan minyak domestik untuk keamanan energi juga ikut terpengaruh.

Penutup

Meskipun praktek tata kelola enrgi berbasis pasar, aspirasi tentang kedaulatan negara atas sumber daya energi tidak pernah padam. Aspirasi ini selalu muncul setiap kali ada kontrak migas perusahaan asing berakhir. Isu nasionalisme sumber daya energi, misalnya, kental sekali dalam perdebatan soal Blok Mahakam di tahun 2018. 

Dalam kasus, blok Mahakam misalnya, keputusan untuk memberikan blok tersebut pada Pertamina didukung oleh argumen soal kedaulatan sumber daya energi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun