Kedua, mungkin kita akan menyaksikan politik demi politik itu sendiri. Politik, sebagai sarana membangun 'bonum commune', berubah melulu menjadi sarana pertarungan kekuasaan.Â
Parlemen yang sibuk dengan diri mereka sendiri dan kurang sibuk dengan pemilih yang mendukung mereka. Demokrasi berkembang menjadi tujuan itu sendiri. Bukan demokrasi sebagai alat untuk mencapai tujuan lain yakni kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Ketiga, ada kemungkinan berkembang tirani partai minoritas dalam parlemen. Ketika keputusan dilakukan dengan voting, suara partai-partai besar seimbang.Â
Dalam kondisi ini, ke mana fraksi partai keci menggeser dukungan akan menentukan sah tidaknya, diterima tidaknya sebuah usulan kebijakan pemerintah atau inisiatif UU, baik  diajukan oleh Pemerintah atau DPR sendiri.
Keempat, secara teknis pemilu akan memakan biaya makin banyak karena surat suara dan logistik lain membesar. Pemilih mungkin juga akan kebingungan memilih puluhan partai dan ratusan caleg.Â
Bukan tidak mungkin partisipasi politik dalam pemilu menurun karena orang enggan menghadapi keruwetan baru di bilik suara saat melihat terlalu banyak partai dan caleg.
Penutup
Ambang batas menjadi semacam 'pagar kecil' mencegah multiplikasi partai akibat penerapan sistem proporsional. Politik menjadi lebih efisien karena proses tawar-menawar tidak terlalu lama dan kompleks akibat terlalu banyak partai.Â
Pemilu dan sarana perwakilan adalah sarana moderasi kepentingan. Sistem proporsional tanpa ambang batas parlemen justru memperbesar peluang konflik kepentingan antar partai yang selama juga mudah terbelah oleh berbagi agenda berbagai faksi yang ada di dalamnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H