Neo-Developmentalisme
Ketika Jokowi berkuasa, Kebijakan pembangunan menunjukkan ciri-ciri developmentalisme tetapi dengan karakter berbeda. Para pengamat menyebutnya sebagai neo-devlopementalisme.Â
Negara yang omnipotent (berkuasa) dan Omnipresent (hadir di mana-mana) bangkit lagi tetapi dengan pola yang berbeda. Peran negara menguat dalam ekonomi, politik dan kebijakan sosial.
Pertama, jika developmentalisme Orde Baru berbasis ideologi merkantilis yang dicirikan dengan proteksi berlebihan, ekonomi Indonesia di bawah Jokowi bergerak jauh ke kanan, ekonomi pasar liberal. Kebijakan investasi asing sangat ramah terhadap bisnis internasional.Â
Untuk itu, berbagai kebijakan deregulasi dan debirokratisasi digencarkan sejak Jokowi berkuasa. Omnibus Law atau UU Cipta Kerja yang tebalnya lebih dari 1000 halaman adalah bagian dari upaya meningkatkan daya saing menarik investasi asing.
Kebijakan ekonomi pasar juga diterjemahkan ke dalam liberalisasi impor, liberalisasi lebih lanjut dalam pasar keuangan dan sektor lainnya.Â
Semua kebijakan liberal yang telah dimulai sejak awal tahun 2000 memperkuat integrasi ekonomi Indonesia ke pasar Global.
Kedua, negara aktif dalam ekonomi melalui pembangunan infrastuktur. Jokowi membangun jaringan jalan tol, rel kereta api baru, puluhan bandar udara dan pelabuhan.Â
Selama 30 berkuasa, Soeharto hanya membangun 564,88 Km Jalan tol. SBY menambah 355,72 Km Tol. Sementara Jokowi 1713, 83 Km Jalan tol selama 9 tahun menjadi presiden (https://www.cnbcindonesia.com).Â
Anggaran infrastruktur menjadi prioritas. Selama tahun 2015-2023, anggaran infrastruktur jalan mencapai Rp 489, 31 triullin. Di sektor tranportasi udara, Jokowi membangun 25 bandara baru dan merevitalisasi 38 bandara antara tahun 2015-2023.