Mungkin masih banyak yang percaya bahwa ini pesta. Harus tampil cantik dan lebih ganteng.Ia memilih memakai jeans dan kaos klub AC Milan.
Tempat pemilihan suara tak begitu ramai saat ia tiba. Ia sudah punya pilihan. Laki-laki di nomor tiga. Ia caleg partai Rambutan. Laki-laki yang berjanji mendorong peraturan daerah yang melindungi perempuan dan anak-anak.Â
Sebenarnya ia bosan mengikuti pemilihan. Seperti Pak Hasan, memilih ke ladang. Saat ditanya ia bilang nanti sama saja. Untuk apa coblosan. Setelah menang lupa semuanya.
Monita berbeda pandangan. Tidak ada pemimpin yang sempurna. Suaranya meski sebuah, dapat mencegah yang paling tidak sempurna, berkuasa. Jadi, ia tetap akan ikut pemilihan. Ia memilih bilik suara nomor 5, terbuat dari tripleks berharga rendah.
Pelan-pelan dibukanya surat suara. Laki-laki itu masih mempesona. Mata itu, bibir itu dan dahi lebar. Anak rambut telah hilang di makan usia.Â
Agak botak kepalanya, namun tetap membuat hatinya berdebar. Ia ingat Parang Tritis, Kaliurang, lorong dan sekretariat di Kampus.Â
Janji-janji dan rencana-rencana mereka setelah percintaan panjang. Semua terbenam di suatu titik di masa silam. Tanpa sebab, tanpa penjelasan. Ghosting.
Penghitungan suara telah dimulai. Saksi-saksi yang tertidur, bangun. Mata mereka tertuju pada surat suara yang diangkat tinggi. Siapa yang dicoblos. Pukul 13.59.Â
"Tidak Sah" kata petugas KPPS sambil mengangkat selembar surat suara. Surat suara itu tak dicoblos. Di salah satu wajah pasangan nomor tiga partai Rambutan ada tulisan "kembalikan liontinku yang kau gadaikan dulu, untuk bayar utang di warung".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H