Mohon tunggu...
Nikolaus Loy
Nikolaus Loy Mohon Tunggu... Dosen - Dosen HI UPN Veteran Yogyakarta

Menulis artikel untuk menyimpan ingatan. Menulis puisi dan cerpen untuk sembuh. Suka jalan-jalan ke gunung dan pantai. Suka masak meski kadang lebih indah warna dari rasa.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Kedaulatan Negara di Ruang Siber

10 Februari 2024   01:23 Diperbarui: 12 Februari 2024   05:23 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kemanan siber. Sumber: Shutterstock via KOMPAS.com

Globalisasi teknologi informasi terutama jaringan internet telah membawa dampak positif yakni proses komunikasi dan transaksi yang lebih cepat dan murah.  Teknologi internet memunculkan ruang maya (cyber space). Ini adalah sekelompok teknologi informasi berbasis komputer yang dihubungkan dengan jaringan melalui mana informasi disimpan, ditranmisikan, digunakan melalui proses komunikasi virtual.

Dalam ruang maya, realitas virtual  relatif lepas dari kontrol sosial. Sambil memperluas komunikasi, ruang maya juga menimbulkan ketidakamanan  publik dan individual. Keamanan informasi strategis seperti desain teknologi, sarana komunikasi pemerintah, transaksi perbankan, desain pertahanan dan informasi penting lain menjadi sasaran kejahatan dan serangan cyber. Pada level individual, kerugian finansial, pelanggaran privasi dan kejahatan seksual telah menggunakan jaringan internet, termasuk media sosial sebagai sarana operasi.

Rudi Lumanto, Ketua Indonesia Security Incident Response Team on Internet Infrastructure (ID-SIRTII), mengungkapkan bahwa pada tahun 2014 terjadi  48,8 juta serangan cyber di Indonesia (Antaranews, 30/4/15). Pada tahun 2022,  Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) melaporkan terjadinya lonjakan serangan siber yang mencapai total 714.170.967 serangan siber (https://imilkom.usu.ac.id).

Sumber serangan paling  berasal dari dalam dan luar negeri di mana situs milik pemerintah termasuk korban terbesar. Dari total asal serangan siber terhadap Indonesia tahun 2023, Brasil menempati urutan pertama dengan 451 juta serangan, disusul AS sebanyak 361 juta serangan, Iran 150 juta dan Tiongkok sebanyak 109 juta serangan (https://data.goodstats.id/statistic/)

Pada tahun 2015, serangan didominasi oleh aktivitas malware sebanyak 12.007.808 insiden, celah pengamanan 24.168 kasus, disusul  kebocoran rekam jejak, pencurian password dan kebocoran domain. Sejumlah 497 tersangka peretas internet ditangkap Subdit IT/Cyber Crime Polri sepanjang  april 2012-2015, di mana warga negara asing 389 orang dan WNI Sebanyak 108. (Antaranews, 25/8/15).

Akamai Technologies dari AS bahkan melaporkan bahwa antar tahun 2013-2014 Indonesia masuk dalam tiga besar dunia dalam sumber serangan dunia maya (www.thediplomat.com). Dengan demikian, Indonesia menjadi korban serangan tetapi juga sumber serangan cyber global.

Penipuan, pengancaman, pemerasan, hoax, pornografi adalah kasus-kasus kejahatan siber yang dominan sepanjang tahun 2021. Tingginya angka serangan ini menunjukkan kelemahan sistem keamanan dan ketahanan informasi cyber Indonesia. Kelemahan ini akan membahayakan sistem online dalam penyelenggaraan berbagai urusan pemerintahan dan pengelolaan adminitrasi pembangunan.

Indonesia nampaknya  sudah memasuki era perang cyber yang mengancam keamanan informasi publik dan privat. Terdapat kekhawatiran bahwa jika terjadi  konflik ekonomi atau militer negara lain, Indonesia akan mengalami apa yang terjadi di  Estonia padabulan April-Mei2007. Saat itu, April sampai Mei 2007, situs-situs pemerintah di Estonia dilumpuhkan oleh peretas Rusia sebagai protes terhadap pemindahan patung bronze soldier di tengah pusat Tallin.

Serangan yang lebih masif terjadi dalam kasus  Red October 2012. Saat itu, investigasi yang dilakukan laboratorium Kapersky menemukan jaringan spionase cyber berskala besar terhadap lembaga-lembaga diplomatik dan organisasi riset di Eropa Timur, bekas Uni Soviet dan Asia Tengah. Serangan ini dimulai 2007 dan berakhir pada 2013, dengan tujuan  menjaring informasi penting dari telpon cerdas, sistem kompter dan jaringan lain yang dimiliki lembaga-lembaga diplomatik.

Tingginya frekuensi serangan cyber dan kerugian yang ditimbulkan memperkuat kesan publik bahwa negara tidak berdaya menghadapi ancaman cyber. Ada semacam mitos powerless dan borderless state  yang mengandung kepercayaan umum bahwa negara tidak memiliki kedaulatan di ruang maya. Pertumbuhan komunitas pengguna yang sangat pesat,  sistem jaringan lintas batas yang terdesentralisasi memang menyulitkan negara untuk mengontrol porses komunikasi  dunia maya.

David Koisur (1997) bahkan berargumen bahwa tidak ada satu lembaga pun yang dapat mengendalikan interaksi di dunia maya.    Di satu pihak, pandangan Koisur dapat diterima. Luasnya jaringan, ketergantungan pada internet, kecepatan transmisi dan sifatnya yang tak kasat mata membuat instrumen kedaulatan teritorial negara, seperti pos imigrasi dan patroli militer,  tidak efektif untuk melakukan border control di ruang virtual.

Di pihak lain, pandangan Koisur bisa dikritisi karena prinsip perlindungan kedaulatan territorial tetap dapat diterapkan di ruang maya. Alasannya adalah  mayoritas aktivitas ruang maya sebenarnya memiliki basis geografis dan beroperasi atas izin negara.  Informasi internet bergerak lewat jaringan kabel, pemancar dan computer penerima yang berlokasi dalam wilayah teritori sebuah negara. Pengguna adalah juga warga negara.

 Dengan demikian, Jaringan internet tetap tunduk pada yurisdiksi negara bangsa. Mekanisme border control dapat diterapkan negara melalui tatakelola  jaringan internet dan para penggunanya. Yang diperlukan adalah kesepakatan tentang aspek dari ruang maya yang memerlukan kontrol, aspek tersebut menyangkut kepentingan nasional yang strategis,  keseimbangan antara kontrol dan kebebasan warga untuk memperoleh informasi dan kemampuan teknis untuk menerapkan kontrol yang efektif.

 Penegakan kedaulatan informasi di ruang cyber dibutuhkan dukungan institusional. Penguatan Badan Siber dan Sandi Nasional  menjadi sangat relevan. Alasanya adalah ancaman Siber makin tinggi akibat pengguna jumlah internet dan sifat ancaman yang trans-nasional. Karakter ini membutuhkan koordinasi kebijakan dan sumber daya antara berbagai lembaga pemerintahan seperti Lembaga Sandi Negara, Badan Intelijen Nasional, Divisi Intelijen Siber TNI dan koordinasi sumber daya antara negara dan swasta;

https://nsarchive.gwu.edu
https://nsarchive.gwu.edu

Kerja melindungi informasi negara dan warga bisa lebih mudah kalau ada norma internasional yang mengatur transaksi internet. Karena itu, diplomasi dalam isu siber di tingkat regional dan internasional untuk mendorong pembentukan norma internasional tentang transaksi cyber, kerjasama dalam pertukaran informasi, belajar kebijakan, pertukaran keahlian teknis dan koordinasi operasi pencegahan.

Masyarakat awam cenderung membayangkan dunia maya itu penuh rahasia, sehingga dibutuhkan lembaga sipil, khususnya komisi DPR yang relevan, perlu memiliki kapasitas  untuk melakukan pengawasan terhadap lembaga-lembaga yang bertanggung jawab pada keamanan siber. 

Keamanan siber bertujuan untuk melindungi negara dan warga negara. Lembaga-lemabaga siber negara jangan sampai menjadi sangat berkuasa dan justru mengancam keamanan warga negara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun