Bagaimana dengan rasa damai? Sama juga. Belum ada teknologi untuk menegakkan hak milik dalam produksi perdamaian. Andai rasa damai bisa dibuat dalam satu galon, dua galon dan seterusnya, maka perusahaan swasta akan taruh uang banyak dalam 'pabrik' perdamaian. Banyak orang tidak bahagia membutuhkan konsumsi perdamaian. Galon-galon perdamaian bisa diperjualbelikan di pasar.
Produksi perdamaian membutuhkan pendekatan berbeda. Public Good. Pemerintah Kota Ghotam misalnya habiskan banyak uang untuk membangun lembaga kepolisian yang kuat dan bersih, membangun taman kota, menyediakan lapangan kerja, memberantas kemiskinan dan pengangguran, mencegah kejahatan dan konflik. Hasilnya rasa damai tercipta di Ghotam. Rasa damai itu tidak hanya dinikmati warga Ghotam. Mereka yang datang dari kota-kota dan pulau jauh ikut menikmati rasa damai tanpa harus membayar.
Andai Angin ada KTP
Di masa lalu, komunitas-komunitas manusia hidup tetapi dibatasi gunung, laut, lembah dan jarak yang jauh. Segregasi alamiah ini membatasi dampak dari tindakan manusia di sekitar lokasi mereka tinggal. Dampak ekternalitas tindakan skalanya rendah karena aktivitas produksi dan konsumsi manusia terbatas. 'Public bad' cenderung terpusat pada kawasan terdekat dan masih bisa dibatas. Alam juga  masih mampu  menampung dan menetralisisasi semua 'public bad' itu.
      Hidup masyarakat moderen yang sangat konsumtif menuntut produksi terus-menerus. Produksi menghabiskan sumber daya. Konsumsi menghasilkan skala ekternalitas negatif yang tidak pernah dialami sebelumnya.
      Produksi massal mendorong eskploitasi alam secara masif dan skala ekternalitas negatif yang tak terbayang sebelumnya. Ini terjadi justru pada saat eksploitasi menurunkan kapasitasnya untuk 'mendaur ulang' sampah dan semua ekternalitas negatif lain hasil produksi dan konsumsi manusia.
      Pada saat bersamaan, globalisasi transportasi memperluas jangkauan dan kecepatan eksternalitas tindakan manusia. Pesawat, mobil dan sepeda motor pergi ke mana-mana, tapi emisi rumah kaca tidak bisa ditelusuri asalnya dari mana mobil dan motor siapa. Orang berwisata ke mana-mana, sampah juga ikut ke mana-mana. Globalisasi produksi didorong oleh ekspansi perusahaan multi-nasional. Pabrik ke mana-mana, asap tidak bisa ditelusuri dari mana.
      Pergerakan orang, perubahan musim, arus laut menyebabkan 'public bad' seperti sampah 'pesiar' keluar dari tempat mereka dihasilkan. Tidak hanya angin yang tidak punya KTP (Kartu Tanda Produsen). Gas Polutan yang diantar angin juga tidak punya KTP. Teknologi untuk memberi KTP  terlalu mahal. Agak sulit menelusuri dari mana asal Carbondioksida, Sulfur Oksida, Nitrogen Oksida, Methana dan gas polutan lain yang ada di udara Jakarta. Apakah berasal dari Cakung, Bogor, Bekasi, Tanggerang atau bahkan sebenarnya dari kawasan industri dan rumah tangga yang jauh dari Jakarta.
      Semua emisi itu bahkan 'travelling' ke negara lain dan ke angkasa maha luas. Angin yang membawanya tak punya paspor, juga tak punya bendera. Mereka melukai lapisan ozon yang membatasi langit yang dikira tak berbatas. Lalu yang dirasakan umat manusia adalah suhu yang makin panas, laut yang menggerus daratan, mesin musim yang berputar aneh dan 'salah mongso', hilangnya jenis pohon dan hewan tertentu dan banjir yang terjadi di mana-mana.
Andai angin ada KTP, andai Carbondioksida punya KTP, sangat mudah menuntut pertanggungjawaban mereka yang mengeluarkannya. Di tingkat global, andai angin punya bendera nasional, andai carbondioksida punya bendera nasional, sangat mudah menelusuri asal negara mereka dan minta pertanggungjawaban. Â
Lalu Bagaimana?