Mohon tunggu...
Nikolaus Loy
Nikolaus Loy Mohon Tunggu... Dosen - Dosen HI UPN Veteran Yogyakarta

Menulis artikel untuk menyimpan ingatan. Menulis puisi dan cerpen untuk sembuh. Suka jalan-jalan ke gunung dan pantai. Suka masak meski kadang lebih indah warna dari rasa.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Tentang Greenflation dan Keadilan Transisi

22 Januari 2024   21:47 Diperbarui: 24 Januari 2024   11:05 528
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ekonomi hijau. (Sumber: SHUTTERSTOCK/U-STUDIOGRAPHY DD59 via kompas.com)

Pada sisi pasar, mekanisme pasar perlu diperkuat untuk menjamin permintaan. Tidak ada produsen energi independen yang mau menghasilkan listrik tenaga surya atau panas bumi, jika tidak ada permintaan. Aturan mengenai harga mempengaruhi kemauan investor untuk membangun pembangkit energi terbarukan. 

Sebelum tahun 2022, pemerintah dikritik karena menetapkan harga EBT per Kwh hanya sebesar 80 % dari biaya pokok produksi setempat. 

Merespon kritik ini, pemerintah mengubah kebijakan harga melalui Perpres 112/2022. Dalam aturan ini harga merupakan hasil negosiasi antara produsen dan PLN.

Aspek budaya dan norma ikut menentukan transisi. Greenisme, yakni norma tentang perilaku hijau belum menjadi bagian dari kultur dan perilaku masyarakat Indonesia. 

Transisi menjadi lebih mudah kalau EBT telah menjadi bagian dari norma dan perilaku sosial. Ini tercermin dari preferensi masyarakat terhadap energi terbarukan.

Cerminan dari prefensi ini adalah kebanggaan menggunakan energi terbarukan. Ketika seorang anak muda mengatakan bahwa 'yang gaul  itu yang terbarukan' maka bisa dikatakan EBT menjadi bagian dari identitas dan gaya hidup orang muda.

Greenflation

Transisi berkaitan dengan perubahan di sektor energi dan perubahan keseluruhan mode produksi. Perubahan membutuhkan biaya. Dampaknya  investasi hijau dapat mendorong kenaikan harga-harga secara keseluruhan. 

Pada sektor energi, greenflation berhubungan dengan (1) biaya perubahan teknologi pembangkit; (2) skala ekonomis pembangkit; (3) biaya oportunitas dan (4) biaya penyesuaian pada sisi permintaan; (5) perubahan mode produksi di sektor yang menerapkan prinsip pembangunan hijau.

Pada aspek teknologi pembangkit, transisi dari pembangkit fosil ke EBT meninggalkan pertanyaan tentang siapa dan berapa kerugian investasi yang telah dibenamkan di sektor pembangkit fosil. Ambisi 'zero emmision', misalnya, menuntut  penutupan seluruh pembangkit batubara. 

Pertanyaannya adalah siapa, dari mana  dan berapa pengganti kerugian investasi yang telah dibenamkan untuk membangun pembangkit itu. Jumlah dana tidak sedikit dibutuhkan dan karena itu 'coal phase out' bukan proses yang murah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun