ME time" ia cakap balik. Omongan pagi ini dengan si bungsu, mengingatkan hal ini. Zaman berubah, kota-kota berubah dan anak-anak berubah. Selama satu minggu anak-anak berpusar antar ruang pertama:  rumah dan ruang kedua: kelas atau  tempat. Pertarungan ketat merebut kursi terbatas di universitas-universitas bagus  mengunci jalur edar anak-anak di dua ruang itu.
"Pa, saya mau keluar sendiri", "ngapain?" tanya saya. "Kami membebaskan anak-anak untuk memilih bidang studi yang menjadi 'passion' di Universitas mana pun. Karena 'sekolah' hanya jalan bukan tujuan. Aktivitas organisasi juga tidak boleh jadi sepele. Seperti guyonan di antara anak-anak naik badan,  nilai tinggi  mungkin bantu  mereka 'dokter', tetapi kemampuan bekerja dalam tim, jaringan dan relasi sosial mungkin bikin mereka jadi 'pemilik rumah sakit'. Dengan  Ikut organisasi  mereka  belajar 'kecerdasan' sosial . Lagipula, organisasi apa pun membantu mereka cukup  'gaul' agar tak seperti bapaknya yang defisit gaul.
"Waktu beta' itu semacam persinggahan sementara dari jalur edar rumah-sekolah. Jalur di mana punggung muda  harus memikul  tas sekolah berat, diisi buku-buku tebal yang sebenarnya tidak begitu perlu. Para remaja mencari "beta pung waktu"  di kafe-kafe urban, swalayan  yang 'price tag' nya tidak ramah dompet atau tempat lain.
 Internet juga menyediakan 'suaka digital' untuk remaja menikmati 'waktu beta'. Yang terakhir ini efeknya agak bolak balik. 'Waktu beta' membutuhkan ketenangan. Suaka digital s itu riuh sekaligus sepi. Sepi tetapi juga riuh-ribut minta ampun. Dalam 'hutan' digital, banyak penyamun yang memanfaatkan kepolosan anak-anak
Sosiolog perkotaan AS, Ray Oldenburg (1930-an) bilang kitorang, termasuk remaja, butuh  'tempat ke 3'. Sebuah solusi mengatasi sisi gelap perkotaan yakni kesepian penghuninya. Tempat pertama itu rumah dan zona pribadi lain. Tempat kedua mencakup sekolah, universitas atau tempat kerja. Banyak orang menghabiskan sebagian besar waktunya di tempat kedua.
 Tempat ketiga itu lokus di mana orang bisa pergi dan datang sesukanya. Suasananya informal, ada 'perasaan-seperti desa' (https://theconversation.com). Satu lagi TIDAK PERLU BAYAR. Masuk dalam kelompok ini adalah taman kota, perspustakaan umum atau tempat terbuka lain yang ada di kota.
'kotanya padat, tapi lapang hati warganya, perlu itu tempat ketiga. Lapang hati karena lapang ruang publik. Sayangnya, keluarkan duit untuk bikin taman kota dianggap 'muspro'. Padahal kampung-kampung telah kehilangan halaman. Makin padat. Halaman lain mesti dibangun di kota.
Duit publik dipakai  untuk membangun, bukan hanya dengan 'mengisi' ruang tetapi juga  'mengosongkan' ruang. Dalam ruang kosong  bernama taman bermain, taman kota, ruang kreatif atau apa pun itu, anak-anak bisa menangkap momen 'me time', 'waktu beta' tanpa harus membayar.Â
Jika belum bisa bikin ruang publik kota, ruang publik alam sebaiknya  gratis. Pantai, hutan, danau pake bayar semua. Itu universitas-universitas megah dengan halaman luas bisa jadi tempat bermain anak-anak. Hitung-hitung promosi dini.
Mama-mama butuh 'ma time' karena itu juga perlu ruang publik yang diakses gratis. Mama-mama berduit bisa ke salon, arisan ke labuan bajo, healing ke Kapadokia. Bagaimana dengan yang APBN rumah tangga defisit sebelum tanggal.  Beban kerja ganda butuh 'ma time' untuk menjaga kesehatan jiwa dan badan sesuai sila kedua  Pancasila. 'Ma time' menjadi keharusan terutama ketika bapak-bapak sudah memiliki 'she-time'
Jika ruang ketiga sulit ditemukan, ada ruang 'keempat' yang bisa diciptakan. Saya mendengar  beberapa kelompok Ibu dan juga 'Ibu-Ibu' menciptakan ruang ini. Menulis.