Nak,
Ke ladang di kaki gunung ini, Inerie, Ine Moi, buyutmu membawaku tinggal selama 2 tahun. Kenanganku tentang tempat itu tumbuh dari sebuah petak waktu antara tahun 1974-1976. Nama kebunnya Kuru Jara. Wula Frei (Musim Libur) juga kami habiskan di kaki gunung ini. Tanpa jam dinding atau arloji, TV, apalagi HP atau internet.
Kadang-kadang kakekmu membawa radio kayu ke kaki gunung. Kotak kecil yang bersuara itu seperti 'tanda heran' bagi kami anak-anak. Bagaimana manusia bisa masuk dan omong dalam kotak dengan tiang pendek di tepinya.
Saya ingat mereknya philips. Kakekmu selalu memutar siaran radio Australia pagi dan petang. Mendengarnya menyemai mimpi untuk pergi ke negara itu. 2001 dan 2002 Bapak akhirnya bisa ke sana. Kuharap kau nenati menyusulnya.
Radio itu tanpa Ed Sheraan atau drama Korea. Kokok ayam hutan, suara oka koa (murai batu) dan fajar pagi di punggung bukit mengingatkan kami jam sekolah. Lalu kami berlari menuruni punggung Inerie agar tak kena rotan guru, termasuk guru Arnol, kakekmu.
Goresan di kaki oleh daun ilalang dan semak sepanjang setapak memacu semangat kami di sekolah. Saat jatuh dan luka, kami tertawa bersama. Kami jarang menangis karena itu. Kami lebih takut guru daripada luka-luka di kaki. Guru-guru desa yang mengajar sepenuh hati, meski tak ada renumerasi atau sertifikasi.
Yang Bapak ingat adalah kobe sa (awan) turun dari Inerie di senja hari, menyelimuti hutan tropis dan tebe sa (Licheness/lumut kerak) yang menempel dan menggantung di pepohonan. Di pagi hari atau senja, angin sepoi menyelinap dari ketiak bambu rumah kolong di kebun. Sepoi  membawa aroma daun indigo menyeruak dari deretan periuk tanah liat tempat Ine Moi merendam benang. Indigo yang lalu menjelma jadi warna biru kain tenun. Kain yang memeluk kami di malam-malam menggigil melata dari puncak Inerie. Malam-malam yang khas oleh suara-suara dan helaan napas berat turun dari rimba dalam.
Kadang-kadang Bapa Gaspar  dan Bapa Yan menangkap ayam atau babi hutan. Bagi kami kanak-kanak, itu anugerah dari Ine Rie (Mama Rie). Gunung tinggi rimbun yang selalu mengirim embun. Ayam hutan adalah jamuan besar setelah talas, jagung muda atau dhao rano (ubi Jalar yang dimasak tanpa mengupas).
Juni, juli, Agustus, September adalah kemarau panjang dan puncaknya 'wula mange' (bulan lapar) di Januari, cadangan pangan menipis, jagung di kebun belum bisa di panen. Ine Moi tak habis akal, untuk cucu-cucunya, ia menyimpan 'sui wuu', daging yang diawetkan dengan tepung jagung dan disimpan dalam tuku (tabung bambu).
Tidak ada go food, Nak. Atau shoope food. Yang ada forest food. Hutan memberi kami makan saat lapar pulang sekolah. Sejenis tumbuhan bernama Tai Wawi, sera (entah apa namanya dalam Bahasa Indonesia), dan pisang, kelapa muda, tebu memberi makanan sepanjang perjalanan pulang.
 Nah, ini ada tradisi yang sudah hilang. Jika kamu kehausan, apalagi sebagai kanak-kanak, kamu boleh memanjat dan memetik kelapa muda milik orang. Tetapi hanya untuk minum dan makan di tempat. Setelah bertemu dengan tuannya beberapa hari kemudian, kamu cukup bilang, "pame/Pine (paman/tante), kemarin kami haus dan petik kelapa muda di....). Tidak ada denda adat, atau laporan polisi karena ini.
Aku membawamu ke sini, agar kau belajar mencintai Ibu gunung, yang tak pernah menipu atau mengeluh. Kapan kamu pulang dari kuliah lapangan? Tak lama lagi engkau menyelesaikan studi geologimu. Semoga kamu bisa belajar memahami gunung, menjaganya tetap teduh, agar arwah para moyangmu tetap nyenyak tidur dan menapaskan embun di daun-daun jagung.
Yogya, Agustus 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H