Gagasan menunda pemilu melawan akal sehat public. Tidak ada situasi darurat yang kita hadapi. Roda ekonomi tetap berjalan. Suasana sosial damai meski masyarakat menghadapi tekanan kehidupan akibat Covid-19.
 Sementara elit juga masih terus 'melucu'. Salah satu tanda kelucuan  itu adalah memberi diskon hukuman bagi terdakwa korupsi Edhy Prabowo. Ia mantan menteri KKP.  Banyak pula diskonnya, 4 tahun. Itu satu periode presiden AS.
Salah satu alasan , karena Edi bekerja baik selama jadi menteri. Bukankah mayoritas terdakwa korupsi juga sangat popular karena 'baik', 'dermawan', bangun rumah ibadah dan kebaikan-kebaikan lain.
Jadi, mengapa pemilu ditunda? Masyarakat menduga, usulan ini muncul dari lingkaran kekuasaan sekarang. Tujuannya mungkin memperpanjang napas kekuasaan dan tentu saja kue-kue yang belum sempat dibagi. Ini hanya dugaan.
Alasan lain adalah waktu mempersiapkan pertarungan. Dalam partai penguasa sedang terjadi friksi. Siapa yang hendak jadi kuda nomor satu yang hendak diterjunkan dalam pacuan bernama pemilu. Yang dijagokan dan jagoan benaran jelas berbeda.
Yang dijagokan belum tentu jadi jagoan di lapangan pacu. Ia kuda manja yang tumbuh di istal istana. Karena itu, para pendukung partai ingin menyodorkan kuda lain. Mustang berbulu putih yang telah ditempa dalam berbagai medan politik. Pertarungan ini harus diselesaikan dengan halus supaya partai tidak terpecah belah saat pemilu. Dan itu butuh waktu. Pacuan bernama pemilu mesti digeser.
Partai-partai punya jago masing-masing. Survei menunjukkan hanya tiga jago dengan rating tinggi, Prabowo, Anis Baswedan dan Ganjar Pranowo. Partai-partai dengan rating rendah mungkin butuh ruang bernapas untuk memoles jagonya. Karena itu pemilu mesti digeser sedikit waktunya. Seperti rapat RT, bisa ditunda dengan macam-macam alasan.
Apa pun alasannya penundaan pemilu berbahaya bagi demokrasi Indonesia. Demi penundaan kontitusi mau dibongkar-bangkir. Tindakan ini  jelas membuka ruang bagi sesuatu yang sudah jadi bangkai: otoriterisme.
Dulu Suharto menggunakan kombinasi ancaman dan pemilu-pemilua-an untuk memperpanjang kekuasaan. Sekarang, orang-orang ini menempuh cara demokratis. Mereka melemparkan gagasan ini ke public. Perdebatan terjadi, lalu anggota parlemen akan berkata 'pendapat umum harus direspon'. Rapat-rapat akan mengikutinya. Rakyat jelata tidak bisa mengendalikan apa yang akan mereka sepakati dalam ruang-ruang berpending udara mahal di Senayan.
Gagasan penundaan pemilu mengikuti pola yang sama dengan perubahan UU KPK dan soal presiden tiga periode. Isu dilempar dulu untuk membangun suasana politik. Â Dalam kasus KPK, proses perubahan berhasil dilakukan karena besarnya kepentingan elit dalam perubahan otoritas KPK. Ketika menjadi 'super body' dengan wewenang luas, KPK menangkap para pelaku korupsi tanpa pandang bulu. Termasuk yang ditangkap adalah pimpinan Parlemen seperti Setya Novanto. Dengan menempatkan KPK di bawah dewan pengawas, keleluasaan KPK dibatasi dan dikontrol.
Gagasan perpanjangan jabatan presiden gagal direalisasikan. Pertama-tama bukan karena ditolak oleh presiden Joko Widodo. Perpanjangan masa jabatan akan menghabisi peluang partai mengajukan calon mereka sendiri dalam pemilu 2024. Perpanjangan masa jabaran memperlama 'musim kemarau' partai, terutama yang berada di luar kekuasaan. Karena itu, gagasan ini harus ditolak. Sekarang ide penundaan pemilu. Dampaknya sama saja. Pemilu ditunda, masa jabatan presiden mungkin bisa diperpanjang
Kudeta merangkak terhadap demokrasi
Jika pemilu ditunda, preseden tercipta. Siapa saja yang berkuasa berikutnya akan menggunakan modus yang sama. Memperpanjang kekuasaan melalui cara yang nampak legal demokratis tetapi mencederai demokrasi.
Harus dingat bahwa, kebebasan yang dinikmati sekarang dibayar nyawa ribuan orang. Mereka yang meninggal dalam huru-hara Jakarta 1998. Belasan mahasiswa dan pemuda yang hilang nyawa. Beberapa dikuburkan entah di mana.
Orang tua mereka masih terus bertanya pada tembok istana. Â Semua demi mengakhiri rezim penindas Orde Baru. Dari 'jelaga' 1998, demokrasi tumbuh. Salah satunya hasilnya adalah pergantian pemimpin melalui Pemilu 5 tahunan.
Yang perlu dicemaskan adalah penundaan pemilu menjadi tangga bagi otoriterisme untuk merangkak naik kembali. Demokrasi akan dikudeta dengan cara demokratis, jika usulan ini tidak ditolak keras.
Pemerintahan Jokowi memang harus diapresiasi karena beberapa keberhasilan. Ekonomi yang relatif stabil, insfrastruktur yang mengkoneksi Indonesia makin erat, surplus listrik, upaya keras menjamin Indonesia yang toleran  dan makin kuatnya posisi Indonesia dalam pergaulan internasional.
Di tengah semua prestasi ini, muncul kecenderungan sentralisasi kekuasaan. Salah satu amanat reformasi adalah desentralisasi kekuasaan ke daerah. UU No. 22/1999 tentang otonomi daerah, kemudian direvisi menjadi UU No.32/2004 tentang pemerintah daerah, mentransfer banyak urusan administrasi dan pembangunan ke daerah. Dasarnya adalah daerah lebih tahu apa kebutuhan pembangunan.
Beberapa tahun belakangan wewenang diambil kembali Jakarta. Salah satunya adalah soal tata ruang. Â Pasal 10 dan Pasal 11 UU No 26/2007 tentang tata ruang memberi wewenang pada pemerintah propinsi, kabupaten/kota untuk mengurusi tata ruang dalam wilayah administrasi.
UU yang sama memampukan pemerintah daerah menyusun tata ruang kawasan strategis kabupaten/kota dan provinsi. Aturan super  bernama UU cipta kerja  mengambil alih wewenang atas tata ruang strategis dari daerah. Kebijakan ini menciptakan konflik tata ruang daerah yang telah  ada dalam rencana jangka menengah derah.
UU Minerba juga memindahkan wewenang perizinan dari daerah  ke pusat. Tujuannya memperlancar izin investasi mineral pertambangan. Sentralisasi akan mengulangi kesalahan era Orde Baru. Izin pusat tidak didasarkan pada realitas penggunaan ruang di daerah. Konsensi pertambangan menabrak hak-hak masyarakat adat. Sebabnya konsensi beranjak dari gagasan tentang ruang kosong. Padahal kawasan yang menjadi konsensi telah didiami komunitas-komunitas adat selama ratusan tahun.
Pola lain adalah teknokratisme kebijakan pembangunan. Teknokratisme menggabungkan teknik dan cratein (kekuasaan). Selama Orde baru, proyek pembangunan dijalankan dengan dua kriteria. Pertama layak secara teknis. Satu proyek dihitung manfaatnya apa, menghabiskan uang berapa, lokasinya layak atau tidak, kapan keuntungan akan balik. Kekuasaan lalu digunakan untuk mewujudkan proyek itu. Bila perlu dengan menggunakan serdadu dan polisi. Proyek waduk Kedung Ombo adalah contohnya.
Diskusi politik  tentang proyek dianggap tidak perlu karena memboroskan waktu. Negara tidak perlu mendengar suara petani yang tanahnya diambil, warga yang mata airnya menjadi air mata, komunitas adat yang kehilangan sugai dan hutan. Semua demi ambisi besar bernama pembangunan. Kasus Wadas, Panas Bumi di Maggarai, Bandara Yogya mengulangi pola di atas.  Teknokratisme,  di mana gerak cepat pembangunan mengabaikan suara-suara mereka yang menolaknya.
Sentralisasi dan teknokratisme bisa dilakukan tanpa perlawanan. Pemilu bisa digeser waktunya. Secara perlahan, oligarki yang berkuasa memiliki peluang menerapkan kembali aturan otoritarian lain. Bukan tidak mungkin sasaran berikutnya adalah kebebasan berpendapat. Negara bisa menerapkan kembali sensor dan izin mendirikan lembaga pers. Kebijakan yang sangat efektif mengerangkeng media selama era Orde baru.
Yang terjadi kemudian adalah 'kudeta merangkak' terhadap praktek demokrasi. Istilah ini dipakai untuk menjelaskan perubahan kekuasaan dari Sukarno ke Suharto. Melalui beberapa maneuver yang dimulai dengan super semar, secara perlahan Suharto mengambil alih kekuasaan dari Bung Karno.
Kekuasaan diambil tanpa letusan senjata, tetapi melalui beberapa cara legal dan perlahan. Sukarno tidak menyadari atau mungkin juga tahun bahwa ia sedang dikudeta secara perlahan-lahan. Penundaan pemilu bukan tidak mungkin menjadi satu bentuk kudeta merangkak. Bukan kudeta terhadap kekuasaan perogangan, tetapi pada lembaga-lembaga demokrasi.
Dua Kemungkinan
Dalam bidang keamanan dikenal istilah tindakan ekstraordinari. Ini adalah tindakan atau kebijakan yang bersifat khusus, cepat, dampak luas dan menabrak aturan main yang disepakati. Alasan dari tindakan ini adalah ancaman yang berbahaya bagi negara. Ancaman itu harus segera direspon dengan cara khusus. Kalu tidak direnpson, ia akan berdampak desktuktif bagi negara dan warganya
Penundaan pemilu itu kebijakan ekstraordinari. Tindakan ini menabrak konstitusi. Pertanyaan kemudian apa ancamannya? Tidak ada. Pandemi tidak menghentikan pilkada serentak kemarin. Pemerintah di berbagai jenjang tetap menjalankan fungsinya. Sektor pendidikan agak terganggu, tetapi penggunaan internet bisa mengatasi penutupan sekolah dan kampus.
Ada dua kemungkinan yang akan terjadi. Pertama, penundaan pemilu akan dipaksakan meski public menolak. Jika terjadi kekacauan social serius, maka langkah khusus dilakukan. Pemilu ditunda. Kedua, sesuatu yang lain perlu dibiarkan berkembang sampai terjadi kondisi emergensi. Pemilu kemudian ditunda dengan alasan ini. Ini hanya dugaan. Kita hanya berharap pemerintah berpikir jernih dan tidak menciptakan kekacauan yang tidak perlu.
Catatan Penutup
Kekuasaan itu agak mirip dengan seni. Ia punya daya magis mistis. Seperti seni, kekuasaan menarik manusia untuk merangkulnya. Begitu kuat daya magis kekuasaan, manusia bahkan membunuh manusia lain demi meraihnya. Dalam bentuk yang lebih halus, daya tarik kekuasaan memaksa orang melanggar 'rule of the game' yang telah disepakati, demokrasi. Sekarang, demi kekuasaan, orang  mengunakan alasan bernama penundaan pemilu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H